Ini yang Kuinginkan Part 9

0
2938

Ini yang Kuinginkan Part 9

Dulu, aku pernah punya pikiran nakal, kalau suatu saat mungkin aku akan diperkosa jika terus sembarangan pamer aurat. Aku tidak menyangka kalau hari itu beneran akan datang. Bahkan dua kali dalam sehari! Untungnya belum sampai ‘kejadian’, cuma nyaris saja. Dua kali aku mengalami percobaan pemerkosaan, dua kali pula aku diselamatkan. Aku beruntung diselamatkan di saat-saat genting, tepat sebelum kegadisanku hilang. Tapi tetap saja, seandainya aku dengerin apa kata orangtuaku, seandainya aku tidak sembarangan nunjukin aurat, tentunya ini tidak akan terjadi. Terbukti memang kalau semua yang diajarkan orangtuaku itu manfaatnya untuk aku juga. Untuk melindungi aku. Tapi aku terlalu bandel. Membangkang. Lebih tertarik dengan pujian-pujian orang. Lebih memilih larut dalam birahi dari pada takut akan dosa.

Setelah semua yang terjadi hari ini, aku ingin sekali ditemani. Bukan karena trauma atau takut diperkosa lagi. Sama sekali enggak. Aku hanya tidak ingin sendiri malam ini. Jadi, aku meminta kak Ochi untuk datang menemaniku. Tapi seandainya bisa memilih, aku ingin Eko lah yang menemaniku. Namun Eko terlalu sibuk untuk tetap di sini bersamaku.

Aku masih di kamar mandi saat mendengar kak Ochi datang. Sebenarnya sudah dari tadi aku selesai mandi. Toh sebenarnya aku cuma perlu cuci muka karna sebelumnya aku sudah mandi seadanya di teras. Tapi saat melihat bathtub tadi aku langsung jadi pingin berendam air hangat. Dan aku orangnya paling betah berlama-lama meringkuk berendam di bathtub sambil melamun.

Cukup lama juga kak Ochi, pikirku. Kayaknya satu jam lebih berlalu sejak Eko pulang tadi. Dalam lamunan di bathtub tadi sebenarnya sempat terbesit penyesalan kenapa aku meminta kak Ochi datang. Rasanya tak enak merepotkan dia yang baru saja kukenal siang tadi. Banyak teman lain yang cukup lama kukenal yang seharusnya bisa kuminta datang. Kenapa harus kak Ochi? Jelas sih, aku pingin curhat dan nyeritain yang barusan kualami tadi. Sesuatu yang tidak bisa kushare dengan sembarang orang. Tapi, aku jadi berpikir, apakah kak Ochi bukan sembarang orang juga? Yah beginilah fenomena era sosial media. Mendekatkan yang jauh dan menjauhkan yang dekat. Hanya karena satu grup whatsapp, rasanya kok udah jadi kayak teman lama yang akrab banget. Aku agak menyesal meminta kak Ochi datang, tapi aku juga tak melakukan apapun untuk membatalkannya, sampai tahu-tahu aku mendengar samar suara kendaraan berhenti di depan rumah, gerbang dibuka, dan pintu diketuk. Tentu kemungkinan besar itu kak Ochi.

‘Klunting.’

Kudengar tanda notifikasi pesan masuk.

Dengan 1 jari kucek HP yang tergeletak di samping bathtub. Kak Ochi mengirim pesan memberitahu bahwa dia sudah di depan dan minta ijin masuk. Sejak sebelum mandi tadi memang sudah kusampaikan padanya untuk langsung masuk aja kalau sudah sampai. Aku pun menjawab singkat, “ya” dan kububuhi emoticon senyum.

Aku pun beranjak dan melangkah keluar dari bathtub. Airnya sudah mulai dingin juga, kalau masih berlama-lama lagi bisa-bisa aku malah masuk angin. Agak lama aku handukan, sambil mematut-matut wajah di depan cermin di kamar mandi. Mengagumi diri sendiri dulu. Kebiasaan, ritual sehabis mandi, hihihi.

Aku tidak membawa pakaian apapun juga ke kamar mandi tadi. Jadi aku harus keluar dari kamar mandi dengan masih telanjang. Gak masalah sih, secara aku memang berniat tetap bertelanjang ria di rumah meski akan ada kak Ochi. Tapi kok nggak ada suara kak Ochi manggil-manggil ya? Pelan-pelan aku melangkah keluar dengan mendekap handuk di dadaku. Dengan itu tubuh bagian depanku tertutup, namun lekuk indah bagian belakang tubuh telanjangku terekspos bebas. Saat aku keluar dari kamar mandi, kak Ochi sudah duduk manis di tepi ranjangku.

Kak Ochi tersenyum dan menyapaku. “Hai Dira…”

“Hai kak…” balasku. Sejenak aku terdiam mengagumi kak Ochi yang tampak cantik sekali dengan gamis biru panjangnya.

“Hihihi, ya ampun kamu…” Kak Ochi tertawa melihat aku cuek menelanjangi diri di depannya. Handukku itu sudah ku taruh di tempatnya. Aku meringis dan tersipu malu, buru-buru aku melompat ke ranjang dan menyembunyikan tubuhku di balik selimut.

“Aku kalo di rumah nggak pernah pakai baju kak…” Aku menjelaskan tanpa ditanya.

“Walau ada tamu?”

“Mmm… Kan kak Ochi doang…”

“Aku nggak doang lho… tuh….” Sahut kak Ochi tertawa sambil matanya melirik ke arah pintu kamar.

Sambil bertanya-tanya kutolehkan wajahku ke arah pintu dan, “Ahh…!” Spontan aku memekik kecil. Ternyata kak Ochi datang sama adiknya! Fadel! Reflek kutarik selimut untuk menutupi wajah dan kepalaku sehingga seluruh tubuhku lenyap tersembunyi di balik selimut. Seperti anak kecil yang takut pada hantu ketika tidur sendirian di kamar. Maigat! Kak Ochii… ternyata sedari tadi ada adeknya berdiri di depan pintu tapi tak kusadari kehadirannya.

Kudengar tawa cekikikan kak Ochi, lalu kurasakan Fadel mendekat dan ikut duduk di tepi ranjangku menjejeri kakaknya. Jantungku berdebar keras. Aku yang malu malah merasa konyol. Sejenak kemudian aku sedikit menurunkan selimut sebatas mataku bisa mengintip. Kudapati kak Ochi yang masih tertawa kecil dan Fadel yang meringis menatapku.

“Halo…” Sapanya canggung.

“Udah dari tadi kamu di situ?” Tanyaku.

“Sejak awal kak… Hehe…”

“Hihi, kamu imut deh kalo malu-malu gitu Ra…” Ledek kak Ochi. “Adekku udah tau kamu dan udah lihat semuanya juga kok… Hehe. Dia sering ikut nyimak grup kita… Kadang malah dia yang komen. Hahaha!” tambahnya lagi. Oh iya, aku jadi ingat, awal-awal obrolan di grup buka-bukaan itu kak Ochi share foto bugilnya di teras rumah, setelah itu share foto wajahnya yang baru dipejuin. Dia tidak selfie tapi difotoin sama seseorang. Tentu saja orang itu adalah adeknya ini.

“Selama ini aku di grup itu sebagai pasangan, couple dua sejoli gitu deh, aku sama adek. Hihihi… Aku udah bilang di awal, dan yang lain gak keberatan. Tapi itu sebelum kamu masuk sih. Hehe…” Jelas kak Ochi sambil menoleh pada Fadel, lalu membelai pipinya gemas. Fadel tersenyum saja.

“Enak ya tinggal sendirian… Aku kalo telanjang-telanjangan kayak gitu di rumah, habis deh dipejuin terus sama adekku ini…” Lanjut kak Ochi langsung menjurus ke hal cabul. Tangannya mengucel-ngucel rambut Fadel. Darahku berdesir. Ada perasaan aneh dan takjub melihat kemesraan dua kakak beradik ini.

“Hehehe, aku kali kak yang habis, dikuras terus sama kakak…” Fadel membalas tak kalah cabul.

“Yee, kan kamu yang kuras sendiri”

“Tapi kan gara-gara kakak…”

Kak Ochi cekikikan lagi. “Emang kalo gak dikeluarin bisa penuh kontolmu ya dek? Nanti bisa meledak ya? Hihihi” Tangan kak Ochi masih gemas ingin mengusili Fadel, tapi Fadel menangkis-nangkis dan mencoba menangkap tangan usil kakaknya itu. Kak Ochi berontak dan mendesah manja ketika tangannya berhasil ditangkap oleh Fadel. “Adek! Aah…” Keduanya cekikikan. Duh… Mereka malah makin pamer kemesraan di depanku. -,-

Aku jadi membayangkan bagaimana sehari-hari kak Ochi dengan Fadel. Bagaimana split personality dan pertentangan batin yang mungkin mereka alami. Satu sisi mungkin dibesarkan dengan ajaran agama yang kuat, tapi di sisi lain tidak bisa menahan diri dari nafsu seksual antara mereka sendiri. Cinta dan kasih sayang mereka sebagai kakak adik, berubah menjadi hubungan yang cabul. Kakak beradik kandung. Sedarah. How cute. Ya. Aku tidak menghakimi mereka, tapi justru berkhayal andai punya adek yang usianya tidak jauh beda denganku, mungkin aku akan sama dengan kak Ochi. Dengan Eko sih adek-adekan doang >,<

“Kak Ochi tinggal berdua aja ya sama adek? Gak ada ortu?” Aku bertanya menginterupsi tingkah mereka.

“Iya, Papa Mama jauh… Eh, Ra, jangan panggil aku kakak dong…”

“Aa… Masa gitu, gak enak ah sama senior…”

“Idih, aku kan cuma satu angkatan di atas kamu, kayak yang udah senior banget aja… Panggil Ochi aja yah… Kayak di grup.”

Aku terdiam. Iya juga sih, sebelumnya di grup aku juga memanggil semuanya dengan nama aja. Tapi setelah bertemu langsung dengan kak Ochi, fakta bahwa dia senior yang cukup populer di kampusku, dan juga bagaimana kak Ochi adalah penolongku ketika hampir diperkosa oleh pak Tarno, membuatku reflek memanggil dia ‘Kak’. Respek.

“Ayo panggil Ochi!” Suruhnya.

“Ochi…” Jawabku meringis.

“Hihihi, jangan panggil kakak lagi ya, aku jadiin adek beneran kamu nanti…” Ucap kak Ochi… Eh, Ochi.

“Kalau aku jadi adekmu, berarti jadi kakaknya Fadel juga dong… Hehe”

“Iyaa… Duh, bakal kesenengan banget nih si Fadel kalau punya dua kakak cantik” Timpal Ochi. “Eh Ra, maaf ya aku gak bilang-bilang ajak Fadel ke sini… Kalau kamu keberatan gapapa diusir aja ni anak, haha.”

“Apaan sih kak… Aku kan tadi emang cuman diminta nganter doang… ya udah kalau gitu aku pulang deh,” tukas Fadel cepat.

“Yeeee… Jangan ngambek dong dek… Kali aja kamu liat Dira bugil trus gak mau pulang, hihihi”

“Lho, eh, gapapa kok kak… Eh… Chi. Fadel ikut nginap aja, gak usah pulang, udah malam…” Sergahku.

“Jangan Ra, ga enak.. Emang tadi Fadel cuman kusuruh ngantar doang kok… Harusnya tadi ngedrop aku doang trus langsung cabut. Tapi aku pikir kusuruh ikut masuk bentar, kali aja ada apa-apa yang dia bisa bantu… Eh malah dapat rejeki ya dek? liat cewek seksi bugil. Hahaha…” jelas Ochi sambil melirik Fadel yang langsung senyum-senyum sambil menggaruk kepalanya.

“Yaah, kalo Fadel pulang aku malah yang gak enak ka… eh, Chi… Ochi! Duh, udah ngerepotin kamu, eh ngerepotin Fadel juga… gak usah pulang ya… nginap sini ajaa…” Bujukku. Kulihat Fadel yang jadi obyek pembicaraan tampak rikuh dan gak enak sendiri. “Gapapa dek, gak usah pulang ya…” ucapku meyakinkannya.

“Hehe, gak nyesel kamu Ra? Ntar kamu diperkosa aku gak tanggung jawab lho…” celetuk Ochi.

“Apaan sih kak” Protes Fadel kesal.

Aku tertawa. “Kakak kamu usil banget ya?”

“Tauk nih.”

“Tapi beneran kamu gak pingin perkosa aku?” Aku malah terpancing untuk ikut menggodanya. Bahkan kini selimutku sudah kuturunkan dan kudekap di dadaku. Pundak telanjangku dan sedikit belahan dadaku terekspos jelas. Benar saja, seketika wajah Fadel memerah. Aku sendiri juga berdebar-debar sebenarnya. Melihatku berani menggoda Fadel tak urung Ochi tertawa geli lagi. Tapi tampaknya dia kasihan melihat Fadel terus salah tingkah. Dipeluk dan diciumnya adeknya itu dengan sayang. “Duh, udah dong Ra… Kasian adekku dibully terus. Hihi…”

“Apaan, kamu sendiri kalik…” kilahku tertawa.

“Dek, nginap sini ya… tu udah dibolehin Dira… Bener boleh kan Ra…?”

“Iyaa… gak usah pulang ya? Mobilnya masih parkir di luar ya? Mau dimasukin ke garasi? Tapi kalau di luar juga gapapa sih, aman kok…” ujarku.

“Dia tu pingin pulang karna mau nonton TV aja tuh Ra… Ada bola. Tadi waktu kuminta nganter keberatannya gitu, pingin nonton bola…” jelas Ochi.

“Laah, nonton di sini aja kan bisa. Jam berapa sih mainnya?”

“Masih bentar lagi sih kak…Aku pulang aja deh kak, gak enak”

“Gak boleehhh… iih adekmu bandel amat sih dibilangin…” tukasku sok merengut dan galak. Ochi langsung tertawa geli lagi. Fadel sendiri tertegun, tak menduga aku ngomong begitu. Aku juga asal ngomong sih. Emang aku siapa ngelarang-larang adek orang? Haha.

“Tuuh adek dimarahin kak Dira. Hahaha…” gelak Ochi.

Aku pun ikut geli. Buru-buru kujelaskan maksudku. Kalau Fadel beneran ada perlu dan harus pulang ya aku tak akan melarang. Tapi kalau cuma pingin nonton TV atau merasa ga enak, kutegaskan bahwa aku justru merasa lega kalau ada cowok yang ikut menginap. Ya, mau tak mau aku jadi sedikit menyinggung sekilas tragedi percobaan perkosaan yang kualami tadi dengan muka serius. Fadel tampak terperanjat dan menatap kakaknya. Ochi cuman mengangguk-angguk mengkonfirmasi ceritaku. Agaknya Ochi tidak cerita sebelumnya pada Fadel mengenai keperluannya mendadak minta diantar ke rumahku malam-malam begini.

Fadel kemudian menatapku dan menggaruk kepalanya lagi. “Maaf ya… aku gak tau kalo ada kejadian begitu,” ucapnya pelan.

“Hihi… kok minta maaf segala. Jadi, nginap sini yaaa…”

“Ya deh, kalo nggak ngerepotin sih…”

“Nggaaak” tegasku. Fadel manggut-manggut tanpa berkata apa-apa lagi.

Sejenak aku juga jadi terdiam. Tiba-tiba ada perasaan canggung dan bingung mau ngomong apa. Kehabisan bahan begitu saja. Kulihat tampaknya Ochi juga sama. Pandangannya berputar mengitari kamarku. Seperti mencari-cari sesuatu unik yang bisa dijadikan bahan pembicaraan. Tangannya lalu usil memilin-milin dan menarik pelan-pelan ujung selimutku. Aku merasakan selimutku sedikit demi sedikit melorot dari dadaku. Reflek kupegangi dan kutarik ujung selimutku dari tangannya.

“Chi” Protesku. Ochi malah terkikik dan balas menarik dengan lebih keras. Walhasil peganganku yang terlepas dan selimutku sukses melorot sampai pinggangku.

“Kyaahh… Ochi!” Tanganku reflek menutup dada telanjangku. Gelagapan antara menutup dada atau meraih kembali selimut itu. Tapi Ochi kembali menarik selimut itu. “Aahhh Ochiii!” Aku berusaha mempertahankan selimutku yang sudah tertarik sampai lutut. Dua tangan kini kugunakan sehingga dadaku jadi terbuka dan mengayun bebas di depan mata Fadel. Kurapatkan dan kumiringkan pahaku. Satu upaya menyembunyikan ketelanjangan selangkanganku yang mungkin malah terlihat seksi di mata yang melihat. Wajahku memerah bak kepiting rebus, dan begitu juga kulihat si Fadel. Tapi toh dia tidak mengalihkan pandangan matanya sama sekali.

“Hihihi… Malu malu amat kamu Ra!”

“Dingiin!” Alasanku.

“Matiin ACnya…” Ucap Ochi sekenanya. Tangannya tak lagi menarik selimutku sehingga aku bisa menariknya dan kembali kudekap menutupi dadaku. Meski aku tidak ambil pusing untuk merapikan selimut yang jadi kusut itu. Sebagian dadaku tetap terekspos di depan kakak beradik itu, bahkan puttingkupun masih mengintip. Aku tidak kesal, bahkan tertawa-tawa. Beneran usil Ochi ini.

“Jadi kamu tu telanjang kayak gini sejak aku antar pulang tadi?” Tanya Ochi penasaran.

“Iyaa… pokoknya rumah ini zona bebas baju. Begitu masuk pintu wajib lepas semuanya… Haha.” Jawabku tersipu. Aku melirik Fadel terus yang memandangiku tanpa risih, meski wajahnya masih memerah. Dengan genit kujulurkan lidahku padanya. Dia nyengir.

“Berarti kakak melanggar dong… hehe” Sindir Fadel melirik Ochi.

“Yee, maunya kamu itu mah… Pengennya kakak telanjang terus,” sahut Ochi. “Emang gitu ya Ra peraturan di rumah ini? Harus lepas baju ya? Maaf deh aku nggak tau peraturannya, hihihi.” Sambil mengerling ke Fadel, perlahan Ochi melepas kerudungnya, lalu melemparnya ke muka adeknya itu sambil tertawa.

“Hahaha… Itu aturan buat aku sendiri sih…” Jelasku.

“Ooh gitu… Syukurlah. Berarti tamu boleh pake baju ya? ” Kak Ochi yang barusan berlagak melolosi kancing gamisnya kini mengancingkannya kembali sambil senyum-senyum melirik Fadel.

“Mmm, tapi kalo mau dilepas juga boleh kok Chi…” Ucapku yang malah jadi gemas dibuatnya.

“Haha… aku nurut tuan rumah aja deh gimana maunya,” kerling Ochi. Aku tak menjawab, cuma senyum-senyum sambil memandangi wajah Ochi. Sungguh cantik Ochi ini. Aku yang sama-sama cewek aja sangat betah dan enjoy memandanginya. Kuamati gamisnya yang longgar tapi tidak bisa menyembunyikan indah lekuk tubuhnya.

“Lho kok malah senyum senyum sambil ngeliatin aku sih? Ada yang salah ya dengan pakaianku?”

“Iyaa… ada yang salah…”

“Salahnya apa, cakep gini kok.. Bagus kan gamisku? pesan khusus di butik lho.”

“Bagusan dalemnya kak… hehe.” timpal Fadel.

“Wek… Maunya kamu tu…”

“Lho iyaa… salahnya tu pakaian dipakai… Jadi nutupin badan kakak deh” kata Fadel lagi.

“Fungsi pakaian kan emang buat nutupin badan dek” balas Ochi.

Aku tertawa melihat kakak berdua itu saling berargumen. “Udah buka aja cepetan Chi” Ujarku. “Hukum harus ditegakkan, di area ini baju dan segala macam pakaian itu terlarang!”

“Yee, katanya tadi peraturan gak berlaku buat tamu…”

“Sekarang baru aja diberlakukan! Haha”

“Duh seenaknya aja sih bikin peraturan… Berlaku bagi adek gue nggak?”

“Ntar dia juga buka baju sendiri. Hihi…” Aku mengerling pada Fadel yang hanya meringis saja. Entah apa yang dipikirkannya. Meskipun sampai sekarang aku masih sok menyembunyikan tubuhku di balik selimut yang sudah kusut juga, tapi entah apa yang akan terjadi nanti… Aku yakin cepat atau lama sesuatu yang cabul akan terjadi di kamar ini.

“Jadiii…. Aku buka nih?”

“Buka!” Seruku dan Fadel hampir bersamaan. Spontan kami tertawa.

“Kamu main api nih Ra… Gak tau lho nanti apa yang bakal dilakuin Fadel… Kamu belum tau sih adekku ini monster peju lho!”

“Dan kakak ratu pelahap peju…” Balas Fadel.

“Iyaa deh… Makasih ya monsterku, dah menuhin kebutuhanku. Puas kamu dek!?” Perlahan Ochi membuka juga gamisnya. Meski longgar, tapi di dalamnya Ochi tidak mengenakan mihnah, jadi begitu gamisnya dilolosi dari tubuhnya, tinggallah dia hanya mengenakan dalaman yang sangat seksi. Bra dan celana dalam imut warna putih. Serasi sekali dengan kulitnya.

Aku dan Fadel sama-sama menahan napas. Darahku berdesir. Ochi betul-betul seksi. Ternyata bisa juga ya aku punya ketertarikan seksual pada sesama cewek. Tapi kupikir ini sama sekali bukan birahi sih. Cuma sekedar senang melihat sesuatu yang indah.

“Udah ya?”

“Aaa…. Buka semua dong Chi…!” Tuntutku untung-untungan.

“Ya ampunn Ra, aku jauh-jauh kesini suruh nemenin kok malah ditelanjangin?”

“Ya kan yang ditemenin telanjang juga. Nemenin telanjang dong, hihi”

“Nggaa aah… Gini aja.” Sahut Ochi bersungut-sungut. Duh imutnya. Hihi, aku jadi makin menikmati daya tarik Ochi ini.

“Aa… Fadel, Kakakmu bandel tuh… Kita telanjangin yuk!” Seruku gemas. Aku bangkit memburu Ochi. Tak kupedulikan selimutku tersingkap.

“Ayo!” Fadel tanggap dan dengan sigap memegangi kakaknya.

“Hahaha… Jangaann… Kyaah!” Ochi tertawa-tawa, mempertahankan diri dan berontak sekadarnya. “Adeeekk… Jangan tarik bra kakak, nanti putus… Ahhh…!”

“Biarin!”

“Pelorotin CDnya!” seruku.

“Aduhhh… Adeek… Putus kamu ganti lho! Mahal tauk!”

“Makanya nurut Chi… Hihi!”

“Diraaa”

Tidak sulit melucuti sisa pakaian Ochi yang tinggal 2 helai itu. Apalagi Ochi tidak benar-benar serius mempertahankan dirinya. “Hahahah… Yeayyy… Ochiii… So seksi! Cantik banget!” Seruku girang setelah Ochi polos tanpa selembar benang pun yang menempel di tubuhnya. Semua pakaiannya kuambil dan kulempar begitu saja ke kolong ranjangku.

“Diraa… sembarangan banget sih kamuu…” Protes Ochi sambil mendekap tubuh telanjangnya.

“Semua pakaian harus diamankan. Hehehe… Ochii, sumpah kamu cantik banget! Pantesan adekmu ga nahan.”

“Iiih kamu ini, kamu kan cewek juga?? Jangan-jangan…” Ochi tambah berlagak erat mendekap tubuh dan merapatkan kakinya.

“Haha, iya nih aku suka banget liatin kamu, cantik sih… tapi jangan khawatir, aku masih normal kok, haha” jelasku. Kak Ochi semyum-senyum mendengarnya.

“Dingin Ra…”

Haha, memang sih. Aku aja sudah beringsut masuk selimut lagi. “Siniii, masuk selimut…” Ajakku. Tanpa disuruh dua kali Ochi langsung masuk selimutku yang memang lebar banget. Di balik selimut tubuh kami bertemu. Halus dan hangat sekali tubuh Ochi kurasakan. Kulit kami yang bergesekan menimbulkan sensasi asyik. Dengan gemas kami saling menyentuh. “Hihihi…” Berdua kami cekikikan sendiri tak mempedulikan Fadel.

Sesaat kemudian tubuh kami sudah sempurna tersembunyi di balik selimut yang kami dekap erat. Tinggal kepala kami saja yang muncul di luar selimut. Sambil masih cekikikan kami beralih melihat Fadel yang masih duduk terdiam di hadapan kami. Wajahnya pias. Hehe, pasti campur aduk perasaannya melihat kami yang baru sekejap lalu telanjang bulat di depannya, tapi kini sudah tersembunyi rapat di balik selimut.

“Hihi, apa sih dek ngeliatin kami aja…” Ujarku sambil memasang wajah imut.

“Mau ikut masuk dek? Hihi” goda Ochi.

“Maaf cuma cukup untuk dua penumpang. Hehehe…” sambungku.

“Kalian ini…” Ucap Fadel gemas. Tangannya tak kuasa untuk tidak meremas selangkangannya meski di depan kami.

Ochi menjulurkan kakinya keluar dari selimut. Dengan lihai jari-jari kakinya membelai dan menari-nari di atas selangkangan adiknya itu. “Sudah cenut-cenut aja ya dek?”

“Aahh… Sudah dari tadi kak…” Jawab Fadel jujur sambil mendesah, tangannya menyingkap dan mengelus betis Ochi.

“Hehe, berarti cenut-cenut liat Dira ya?” Tanpa menjawab, Fadel hanya melirikku dan meringis. Kupasang wajah imut lalu kujulurkan lidah menggodanya.

“Kasihan tau junior kamu nih… Udah sanaa… Katanya mau nonton TV?” Usir Ochi.

“Aah iya. Hehe…”

“Ih berlagak lupa”

Duh, gara-gara Ochi bilang lupa, aku jadi teringat kalau lupa belum nawarin mereka minum. Tuan rumah macam apa aku ini >,<

“Aah iyaaa! Kalian mau minum apa? Maaf lupa nawarin… Duh ga sopan banget aku inih…”

“Haha, iya tuh kamu, tamu bukannya dibikinin minum malah ditelanjangi” Tukas Ochi menarik kakinya kembali masuk selimut. Aku sendiri malah melompat keluar dari selimut dan dengan cuek berlari telanjang ke arah dapur.

“Susu ya Chi? Fadel mau kopi?” Teriakku berinisiatif menawarkan.

“Terseraah… Yang penting hangat ya…” Suara Ochi menjawab dari kamar.

“Siapp!”

Sejurus kemudian kulihat Fadel melangkah keluar kamar. “Kamu kalau mau nonton tv nonton aja” ujarku. Dapurku bergaya modern, dengan ruang terbuka dan meja bar di tengah, sehingga orang yang bekerja di dapur bisa berhadap-hadapan dan berkomunikasi dengan siapapun yang ada di rumah.

“Eh, i..iya kak” jawab Fadel yang kemudian menuju ruang tengah setelah cukup lama memperhatikan tubuh telanjangku. Dari dapur ini aku juga bisa melihat ruang tengah tempat menonton televisi. Kuamati sosok Fadel yang duduk membelakangi dapur, menghadap TV. Aku berasumsi pemandangan kakaknya telanjang sambil bekerja di dapur sudah biasa dia lihat. Tapi kini dia mendapati pemandangan yang sama berwujud sosok lain yang tak kalah cantiknya. Hehe, iya dong… Kurasa aku tak kalah cantik dari Ochi. Dih, jadi memuji diri sendiri aku ini.

Kembali ke urusanku di dapur, karena aku benar-benar lupa dan nggak kepikiran tadi, aku jadi tak ada persiapan sama sekali. Walhasil agak lama aku nguplek di dapur. Mulai dari merebus air, sampai mencuci dulu. Haha, Ya… bahkan mug pun masih kotor tak ada yang bersih. Parah banget deh gue malesnya belakangan ini.

Saat aku menengok ke arah kamar kulihat Ochi sudah berdiri di pintu mengamatiku. Aku meringis, “Maaf Chi… Ga siap, jadi lama… hehehe…”

“Aku ikut bantuin ya”

“Aaa… gak usah,” cegahku. Tapi tetap saja Ochi berjalan ke dapur menghampiriku. “Ya ampun Dira, piring-piring gelas kotor numpuk ini sejak kapan nggak kamu cuci?”

“Hehehe… Empat harian kayaknya” Duh malunya… Padahal kemarin malam aku makan dan langsung mencuci piring. Tapi yang kucuci ya cuma piring yang habis kugunakan aja. Sementara yang kupakai di hari-hari sebelumnya kubiarkan. Dan aku barusan juga cuma mencuci 2 buah mug yang hendak digunakan. Ketahuan deh cucian lain yang masih menumpuk. >,<

“Kamu nggak ada pembantu?”

“Nggak ada… Aa jangan dong, kamu temani Fadel nonton tv aja sana. Aduhh Ochi…” Cegahku melihatnya yang sudah langsung menyalakan wastafel aja.

“Ochi!!” Protesku melihat temanku itu tak bergeming.

“Kalo nggak boleh bantu-bantu aku pulang nih!?” Ancamnya merengut.

“Yaah Ochiii” Pasrah deh aku membiarkan si Ochi membantuku di dapur. Kalau ada orang lain yang melihat kami, entah apa yang akan dipikirkannya. Dua orang cewek cantik dan seksi sibuk beraktivitas di dapur dalam keadaan telanjang bulat. Kalau difoto dan disebar di kalangan cowok mungkin captionnya “istri-istri idaman”, hihi. Padahal yang idaman cuma si Ochi doang… Aku mah pemalas, hihi.

Dan ternyata Fadel berpikiran sama denganku. Tau-tau kudapati dia sudah berdiri di depan dapur dan lagi asik mengambil gambar kami dengan kamera HPnya.

“Eheemm… Katanya nonton bola?” Sindirku yang tidak mempermasalahkan fotoku diambil tanpa izin olehnya. Fadel tersenyum saja.

“Adeek… ngapain sih kamu? Eh, pakai HP kakak dong…” Haha. Kukira Ochi mau protes, ternyata malah request.

Sejurus kemudian aku dan Ochi malah sibuk berpose untuk difoto. Aku emang suka berfoto dan difotoin sih, hihi.

“Kalian kerja aja… Biar kucandid aktivitas dapur…” usul Fadel.

“Ga mau aah.. Ntar jelek…” jawab Ochi.

“Ga bakalan jelek deh. Kakak cantik kok…”

“Kakak yang mana nih?”

“Dua-duanya!”

“Duh pinter banget kamu ngegombal ya… Pasti ada maunya tuh, hihihi” godaku. “Ya udah… difoto yang bagus ya…”

Bagaimanapun juga kami kemudian memang kembali fokus pada pekerjaan kami di dapur sambil bugil, dan sesi foto dadakan itu menjadi candid sesuai yang dimaui Fadel. Sambil membuat minum aku tak bisa menahan diri untuk sekali-kali melirik Fadel. Beberapa kali mata kami bertemu dan berbalas senyum. Dalam hati aku jadi ‘bersyukur’ Ochi mengajak adiknya itu. Dalam satu hari ini naluri eksibku tersalurkan untuk kesekian kalinya. Bedanya kali ini berasa lebih ‘manis’. Susah kugambarkan bagaimana perbedaan perasaan senang dari tiap aksi eksib yang kulakukan. Nyatanya memang sensasi yang berbeda itu kurasakan.

“Ini kopi kamu ya dek… Kamu mau camilan?” Aku meletakkan mug berisi kopi panas yang baru saja kuseduh di atas meja bar. Posisiku kini berhadap-hadapan dengan Fadel. Duh, meski udah sering telanjang, tapi kalau ada cowok yang memperhatikan rasanya tetap saja malu.

“Hihihi… Wajah kamu masih aja memerah Ra… imut banget kamu” Puji Ochi tiba-tiba. Ugh, dibilang begitu aku malah tambah berdebar, darahku berdesir membuat wajahku makin bersemu merah.

“Ya ampun malah tambah merah tuh… Diraa… Hihihi…”

“Ish, Ochiiii…” gumamku manja. Begini rasanya menyembunyikan rasa malu, lalu ketahuan, jadi tambah dobel rasa malunya. Rasa malu yang menyenangkan tentunya. Sungguh tak karuan perasaanku dibuatnya.

“Wah stok camilanku habis ternyata… Eh iyaa… aku ada pizza… Udah dingin sih… gak apa kan?” Fadel mengangguk. Perutku sendiri sudah sangat super lapar karna pizza yang kupesan tadi ini belum segigit pun kumakan.

Fadel mengambil 3 potong pizza dan kembali melanjutkan nonton TV. Sedangkan aku mengajak Ochi ke kamar lagi dengan membawa sisa potongan pizza.

“Haha, makan pizza, malam malam, makannya di atas kasur lagi… kalo Mama tahu pasti diomelin nih…” di atas kasur aku memulai obrolan.

“Haha, bener banget, mamaku juga pasti samaan ngomel kalau tau… udah gitu telanjang-telanjangan lagi…”

“Hihihi…” kami tertawa bersamaan.

“Emang kamu suka makan malam-malam ya? Gak takut gemuk?” tanyaku padanya.

“Kalo soal makan aku kurang kontrol diri… Sembarangan aja, tapi untungnya makan sebanyak apapun aku susah gemuk tuh… Padahal pingin juga sih naikin sekilo dua kilo… biar gak kurus ceking gini”

“Aah irinya… Aku kalo lupa diri ngemil langsung gendut deh… Harus sering-sering diet. Makan malam-malam kayak gini hampir gak pernah aku… Besok harus ngegym nih buat menebus dosa,” keluhku. “Habisnya aku belum makan sedari pulang kampus tadi… Tadi langsung tidur sampai sore.” Lanjutku memberi penjelasan tanpa diminta. “Eh, tapi badanmu sudah bagus banget deh Chi.. ga ceking kok, udah ideal…” Pujiku. “Aah Ochi udah abis 2 potong ajaa…” Tanpa sadar aku terus nyerocos.

“Hahaha… Baru tau ya kalo aku jago makan? Ni pizza bisa abis nih kalo aku sendirian…” Ujar Ochi gak ada jaim-jaimnya sama sekali. Aku suka! ^o^

“Ya ampunn perut apa kantong ajaib tuh? Makin iri… Asiknya bisa makan banyak tanpa khawatir jadi gemuk. Anugerah banget tuh!” Ochi tertawa saja mendengar ucapanku.

Kami kemudian sama-sama diam beberapa saat.

“Jadi… Gimana tadi?” Tanya Ochi.

“Gimana apanya?”

“Kamuuu tadi nangis! Katanya diperkosa lagi?”

“Hahaha… iya,” jawabku malah tertawa.

“Tuu kan kamu bohong yaa?”

“Nggaak kok, serius… hampir dibunuh juga aku tadi…” Jelasku.

“Seriuss kamu Ra? Gak keliatan banget sih…” Selidik Ochi masih ragu.

“Serius Chi, masa aku bercanda kaya gitu… ” jawabku. Ochi masih memandangiku heran. Mungkin harusnya aku pasang wajah sedih, nangis, kusut, memanggil polisi, atau yang semacamnya. Aku sendiri heran juga, begitu mudahnya suasana hatiku berubah. “Aku cuma lagi senang aja sekarang, soalnya ada kamu Chi di sini” sambungku.

“Ayo cerita! Penasaran aku!”

“Eeh Chi, selfie dulu yuk?” Ajakku.

“Halaaah! Ya udah ayo…”

“Hihihi…” Kami berdua tertawa.

“Pake HPku aja,” usulku.

“Buat pamer ke grup ya?”

Ckrek! Foto 2 cewek cantik telanjang bulat duduk di atas kasur sambil makan pizza meluncur dan terkirim di grup. Setelahnya kami bersama-sama menunggu komentar.

‘Klunting.’ Farah yang paling pertama komentar.

Farah : Iiihhh cantik2nyaaa…

Farah : Asik banget.

Alya : Aah telanjang bareng, ati2 lho terjadi sesuatu yang diinginkan. Hihi..

Nana : Haha… dijual laku mahal ni foto. Wkwkwk…

Farah : Eh tau gini tadi monyet2 gue kirim ke rumah Dira aja yaa… Ada 2 mangsa empuk di sono.

Ochi : Haha, jangan… kami masih perawan yaa…

Farah : Ah iyaa… Dira sayang, gimana keadaan kamu?

Alya : Kayaknya sih dari fotonya udah hepi2 ya sama Ochi?

Farah : Tapi cerita dong?

Ochi : Aku sendiri belum diceritain tuh

Ochi : Datang2 malah disuruh telanjang.

Ochi melirik ke arahku.

“Hahaha, iya Chi, nanti aku cerita” Ucapku. Ochi lalu mengetik di grup.

Ochi : Ni abis ini mau cerita.. tapi share di grupnya besok aja ya… ni mau sekalian siap siap bobo…

Farah : Haha Ya udah see u all tommorow yaa… yang penting gue tau Dira udah gapapa…

Aku dan Ochi menghela napas. Sama-sama menyudahi obrolan di grup.

Masih ada sisa sepotong pizza tergeletak di kotaknya. Tapi kayaknya Ochi tak berniat menghabiskannya. Aku, apa lagi. Ochi menyingkirkan kotak pizza dan mug susu kami yang sudah kosong. Aku membersihkan selimut dari remah-remah yang mungkin berjatuhan.

“Jadi, tadi tuh mati lampu… Nah, aku kan penakut orangnya…” Ucapku memulai cerita. Aku menceritakan detail aksi mandiku di teras rumah juga. Senang melihat ekspresi Ochi yang mendengarkannya. Sepanjang aku cerita, dia mendengarkan tanpa banyak memotong. Tadinya aku tidak ingin cerita sampai bagian Eko. Tapi karna Ochi menanyakan foto selfieku yang mewek sambil berpeju ria tadi, aku jadi menceritakannya juga. Malah jadi agak panjang di bagian Eko, karna tanggapan pertanyaan dari Ochi menuntut aku harus kilas balik menjelaskan siapa itu Eko. Tentu kuceritakan garis besarnya saja. Tapi cerita hubunganku dengan Eko sukses membuat Ochi terperangah.

“Harus dilaporin tuh orang yang merkosa kamu… Udah kriminal itu!”

“Iya sih”

“Kok iya sih? Iya dong! Di aplikasi pasti tercatat kan tuh, nomor teleponnya, namanya…”

Aku terdiam. Ochi tampak makin gusar. “Sini aku lihat aplikasinya…” Pintanya kemudian.

“Ga usah Chi… Udah malam juga, besok aja!” Tolakku tegas. “Aku terus terang gak kepikiran sampai ngelapor…” Terangku. “Aku justru…” Kalimatku terpotong sejenak. Aku memikirkan kata-kata untuk diucapkan. “Tadi siang di mobil kan kamu udah panjang lebar bilang Chi, bahwa yang kayak gini resiko seorang eksibisionis” Ucapku. Kulirik wajah Ochi, ingin melihat reaksinya. Ternyata dia menunggu aku menyelesaikan pernyataan.

“Aksiku tadi memang beresiko banget kan? Terus terang pas mau diperkosa tadi, aku justru merasa bersalah kenapa aku nggak bisa menerimanya” sambungku.

“Ya ampun Dira…” Ochi tampak terperangah.

“Kan kamu yang bilang…”

“Iya, aku bilang gitu cuman teori doang. Aku sendiri kan belum pernah ngalamin…”

“Jadi?”

“Jadi… Ya… Tapi aku serius juga sih… Maksudnya, kalo kejadian ya… Pasrah. Duh, gimana ya bilanginnya…Kalo kamu pasrah oke. Tapi kan nggak? Kamu menolak, berontak… Trus dicekik… Diancam mau dibunuh” Ochi menghela napas. Kalimatnya terdengar belum selesai. Tapi dia kemudian terdiam.

“Nah itu, berarti salah aku kan? Harusnya aku terima” Ucapku lirih.

“Ya bukan berarti gitu juga dong sayang”

“Trus gimana?”

Ochi menghela napas lagi, lalu menggaruk-garuk kepalanya. “Duh, maaf ya Dira… Aku kok sotoy banget sok menggurui…”

“Lho nggak kok. Aku menghargai pendapat kamu kok Chi”

“Aku belum pernah ngalamin kayak kamu Dira. Kamu yang paling ngerti perasaan kamu… Sori ya…” Ucapnya tersenyum. “Aku cuma kesal aja tadi… kepikiran, gak seharusnya pemerkosa itu berjalan bebas tanpa nerima ganjaran… Andai aku ya… Kalaupun aku diperkosa pasrah, nerima, bahkan mungkin menikmati… Tetep aja abis itu yang merkosa aku kulaporin,” tukas Ochi berandai-andai.

“Ohh… trus kalau si pemerkosa membela diri, bilang suka sama suka gimana? Trus ada rekaman videonya gitu yang nunjukin kita menikmati gimana? Kamu mendesah-desah keenakan, bahkan ikut goyang pinggul…” Timpalku gemas berfantasi, sambil menggoyang-goyangkan pinggulku memperagakan apa yang kubayangkan.

“Haha.. Yaa aku bilang aja ke hakim, aku menikmati seksnya, tapi aku nggak suka sama orangnya”

“Hahahaha…” Kami tertawa bersamaan lagi.

“Bisa mupeng pengadilan denger kaya gitu” celetukku.

“Hihihi”

“Eh, Dira… Jadi kepikiran, trus pizzanya ini kamu bayar nggak?”

“Ya nggak lah”

“Berarti pizzanya nggak halal dong?”

“Lho, kok nggak halal sih?”

“Lhah iya… Kan nggak kamu bayar”

“Salah dia sendiri kenapa merkosa aku… Jadi pizzanya gak usah dimakan? Mubazir dong… Lagian aku laper” jawabku santai.

“Besok abangnya dihubungin aja, suruh sini, bilang ke dia mau bayar pizaa,” usul Ochi.

“Ish… ntar diperkosa lagi akunya… Lagian aneh. Mana mungkin dia mau datang lagi ke sini. Awkward banget pasti”

“Ya gapapa kalo dia gak mau datang, suruh ikhlasin gitu… Kalo abangnya udah ikhlas kan jadi halal.”

“Hahaha… Kalo abangnya mau datang?”

“Kita panggil satpam, suruh nangkep! Hihihi”

“Ha ha ha ha ha….!” Lagi, kita tertawa geli bersamaan. Senang sekali bisa akrab begini sama Ochi.

Sret! Tiba-tiba Ochi menarik selimut dan meringkuk di dalamnya. Sebagian tubuhku jadi tersingkap.

“Kyaa… Ochi, bagi-bagi dong selimutnya… Berdua!” Protesku. Dia hanya tertawa.

“Dingiiin… Kamu kan udah biasa bugil…” Ledeknya.

“Udah biasa bugil tapi tetep selimutan kali…” Aku merangsek ke sampingnya supaya tubuhku bisa tertutup selimut semua. Kami tertawa geli.

“Pelukan aja yuk?” Ucap Ochi membuka diri. Surprise banget aku dengan penawarannya. Langsung kudekap tubuhnya tanpa ba bi bu. “Ayukkk…” Ucapku. “Aahhh….” Desahnya.

Tangannya ikut mendekapku erat. Kedua buah dada dan kulit telanjang kami bertemu dan saling mentransfer suhu tubuh. Darahku berdesir-desir. Hangat sekali rasanya. Dengan manja kugesek-gesekkan tubuhku ke tubuhnya. Pertemuan dua buah dada kami yang sama-sama padat berisi menimbulkan sensasi yang susah diungkapkan.

“Hangat sekali tubuhmu Ra”

“Hmm… Ochi…”

“Ya?”

“Aku suka deh ngeliat kamu… Tapi bukan terangsang lho ya”

“Hahaha, terangsang juga gapapa.”

“Hehe, ntar kamunya kabur, dikira gak normal akunya”

“Kamu emang nggak normal kok… sehari-hari berjilbab, tapi di rumah telanjang terus, gak normal itu namanya” ledeknya.

“Biarin, hihihi”

“Ciuman dong kaliannya…. hehe” Tiba-tiba suara Fadel menginterupsi kami. Kaget, spontan kami saling melepaskan diri.

“Iihh? Fadel!”

“Ngapain kamu dek masuk lagi? Gangguin orang mau bobo aja”

“Aku juga mau bobok kok kak, tapi mau pinjam selimut kalo ada, dingin soalnya”

“Duh iya maaf ya.. hihi, jadi ditelantarin… Ada di lemari dek… Bentar kuambilin…” Jawabku hendak beranjak. Tapi baru separuh badanku keluar dari selimut, tanganku ditahan oleh Ochi.

“Sini aja Ra…” Matanya mengerling. “Biar Fadel ambil sendiri”

Duh Ochi ini, masak aku disuruh membiarkan adiknya mengakses lemariku sendiri. Tapi kupikir gapapa juga sih. Akupun menurutinya. Jadi ingat dulu teman-teman Eko juga pernah mengobrak-abrik isi lemariku. “Itu dek, selimutnya di dalam lemari yang merah…” Tunjukku pada lemari di sudut kamarku, sambil beringsut kembali masuk dalam selimut.

Fadel menggaruk-garuk kepalanya. “Lemari ini? Gapapa nih aku ambil sendiri?”

“Iya.. Gapapa, ambil aja… di rak paling atas ya…” Fadel membuka lemariku, dan seperti dugaanku matanya nakal menelusuri setiap sudut lemariku. Bukannya langsung mengarah ke atas tempat selimut yang kujelaskan tadi. Sebegitu penasaran kah cowok dengan isi lemari cewek? Aku sih cuek aja secara gak ada barang ‘haram’ yang kusembunyikan di situ. Paling Fadel mupeng aja melihat koleksi celana dalamku. ^o^

“Ehemmm… Apa ini? Hehe…” Tanya Fadel sambil memungut sesuatu dari rak celana dalamku. Dia mengambil g-string taliku yang super mini. Saking mininya bagian yang nututpin vagina aja hanya berupa manik-manik kecil. Aku membelinya dari toko online. Belum pernah aku pakai sih. Untuk koleksi aja, soalnya imut. Tapi aku heran kenapa harganya lumayan mahal, padahal cuma seperti tali gitu aja.

“Deeekk… Kok kamu ambil yang lain sih?” Protesku manja. Malu banget.

“Lucu sih kak” Kilah Fadel.

“Taruh lagi…”

“Iya… maaf kak lancang, tapi kapan-kapan aku pengen lihat kakak pakai ini ya kak, hehe” pinta Fadel untung-untungan.

“Huuuu… dasar… Adekmu ini ternyata emang mesum Chi, hihihi” Aku tertawa. Baru juga melihat g-string seperti itu dia udah pengen lihat aku memakainya. Apalagi kalau melihat paketku yang akan sampai besok, pasti tambah pengen lihat aku memakainya, hihihi. Iya… besok satu set lingerie seksi lengkap dengan ‘mainan-mainannya’ yang ku pesan akan tiba. Gak sabar nungguinnya. Gak sabar juga pengen ketemu kurirnya, semoga kurirnya mas-mas yang biasa, hihi.

“Kamu di rumah orang lho masih nakal aja… Dah sana bobo” Ochi akhirnya mengomeli adeknya.

“Kan aku biasa bobo sama kakak…” Timpal Fadel. Aku tertawa. Ochi tersipu. Aku mengusulkan Fadel tidur di kamarku berdua dengan Ochi, dan aku sendiri bisa pindah ke kamar lain. Fadel jelas sumringah, tapi Ochi buru-buru menolaknya.

“Gapapa Chi, gak enak aku memisahkan sepasang kekasih, hihihi…” Ujarku.

““Iih apaan sih… Gak usah, dah sana dek kamu bobo di luar” usir Ochi.

“Lho kok di luar? Hahaha… Jahat kamu Chi.” Timpalku.

“Iyee… Maksudnya di luar kamar ini…” Jelas Ochi. Fadel pun kusuruh tidur di salah satu kamar buat tamu yang ada di rumahku.

“Mm.. Aku di sofa aja gapapa kak… masih pengen nonton” Ucap Fadel. Tapi meski bilang begitu dia tak juga beranjak. Bisa kupahami Fadel berat meninggalkan kami. Dia masih saja duduk di ranjang sambil memandangi kami dengan tatapan mengharap. Ochi menarik selimut yang sedari tadi terbuka sebatas pinggang sehingga dua pasang buah dada kami menjadi santapan gratis untuk mata Fadel. Aku pun ikut menarik selimut dan kami sama-sama mendekapnya di dada sambil tertawa-tawa menggoda Fadel yang menatap gemas.

Sebelum diusir lagi oleh kakaknya, dia memberanikan diri meminta ‘sesuatu’ lagi.

“Kak, sebelum aku bobo… Boleh nggak? Mmm…”

“Apa nih, pasti yang nggak-nggak nih?” tanya Ochi.

“Boleh nggak aku liat kalian ciuman? Tapi sambil aku foto, hehe”

Aku tertawa, Ochi merengut. “Tuu kan macem-macem… Bisa nggak sih dek kamu nggak mesum semalam aja?” ujar Ochi geleng-geleng kepala.

Tapi mendengar permintaan Fadel membuat jantungku berdebar keras. Ciuman? Sesama cewek? Belum pernah aku membayangkannya. Emang sih aku tadi sempat tertarik dengan sosok Ochi. Tapi kan bukan karena nafsu. Hanya memuja keindahannya saja.

“Please kak Ochi, kak Dira… mau ya?” Fadel memohon.

“Hmm… Gimana Ra? Kamu mau?” tanya Ochi kemudian padaku.

“Gak tau Chi, aku belum pernah ciuman sesama cewek… aneh kayaknya”

“Iya… emang aneh sih, soalnya kamu kan cewek normal… terangsangnya sama yang punya kontol, hihihi” ujar Ochi. “Tuh dek, kak Diranya gak mau tuh….” Ku lihat wajah Fadel sedikit kecewa.

“Eh, tapi gak apa deh… penasaran juga… kalau ciuman sama makhluk indah seperti kamu kayaknya gak apa deh, hehe” ucapku cepat. Aku pakai sok-sokan menggombal segala. Aneh sih ngegombalin sesama cewek, haha.

“Kamu yakin Ra?”

“Iya gak apa…” jawabku tersenyum dan melirik ke arah Fadel. Selain karena emang penasaran gimana sensasinya. Mendengar Fadel akan mengabadikannya dengan kamera juga membuat aku akhirnya mengiyakan permintaan adek Ochi ini. Entah kenapa aku selalu suka jika difoto-foto. “Kamu sendiri emang mau Chi ciuman sama aku?” tanyaku balik ke Ochi.

Ochi menghela napas dan kembali melirik adiknya yang kembali sumringah. “Sekali aja ya?” Desah Ochi menatap adeknya. Ochi tidak menjawab pertanyaanku secara langsung. Tapi aku tahu kalau dia bersedia melakukan apa saja demi nyenangin adeknya itu. So sweet banget!

“Yes… Hehe, jangan berlagak terpaksa gitu dong kak. Suka kan mau difoto?” Ledek Fadel. Ochi tak bisa menahan diri untuk tersenyum. Wajahnya tersipu dan dengan kesal dia memukul Fadel dengan bantal.

“Kamu ini… Kakak berubah pikiran lho?” Gertaknya manja. Fadel tertawa menghindar lalu segera menyiapkan HPnya.

“Pake HP kakak aja…!”

“HPku aja kak…”

“Kamera kakak lebih bagus, kamu ini pasti mau buat bacol ya? Kan bisa dikirim nanti dari HP kakak…” Ujar Ochi cabul. Aku tertawa dan Fadel senyum-senyum aja tanpa menyangkal.

“Dasar… ” Gumam Ochi gemas sambil menyerahkan HPnya.

Dengan antusias aku memeluk Ochi. Kok jadi aku yang antusias gini ya. Deg-degkan tapi antusias, hihi. “Pose gimana dek?” Kerlingku sambil menyingkap selimutku sebatas pinggang lagi. Dari tadi Fadel sudah dapat tontonan gratis buah dadaku, tapi kali ini mungkin rasanya berbeda. Fadel tergagap meresponku. “Aa… Anu… Ciuman natural aja kak…?” Sahutnya.

Ochi ikut menyingkap selimutnya dan kami pun berhadap-hadapan.

Cup. Tiba tiba Ochi mengecup bibirku. “Gitu dek?” lirik Ochi ke Fadel. Sedangkan mukaku langsung merah. Gak nyangka bisa berdebar debar seperti ini. Nafasku begitu memburu karna ini pengalaman pertama bagiku.

“Oke kak, keren…”

Ochi tersenyum, kemudian kembali menciumiku berkali-kali.

Apakah Ochi sudah biasa? Pikirku dalam hati melihat dirinya yang begitu rileks. Tapi ku rasa ini juga yang pertama baginya. Karena seperti yang kupikirkan tadi, Ochi pasti melakukan ini sekedar untuk nyenangin adeknya.

Ochi kemudian menjilat bibirku dengan ujung lidahnya. Aku tertegun. Jantungku berdetak kencang. Sungguh tak kusangka sentuhan sekecil itu sungguh dahsyat rangsangannya. Tampaknya Ochi menangkap rasa groginya. Dengan lembut kedua tangannya meraih buah dadaku dan membelainya. Lalu Ochi merubah sentuhannya dengan kuku. Posisi tangannya seperti hendak mencakar, tapi kuku-kukunya tidak sampai menancap benar ke kulit payudaraku. Kelima jarinya mekar dan digerakkan menutup sehingga kukunya bergerak menyusuri dari lingkar luar payudaraku semua memusat ke areolaku, dan jari-jarinya berakhir di puttingku yang sudah sangat menegang. Beberapa kali gerakan itu dilakukan sambil kami saling menatap. Mulutku pun tak kuasa mendesah. “Aahh.. Chi…”

‘Cup’ Ochi mengecup bibirku yang merekah.

“Mmhh…” Gumamku.

‘Cup’ Sambil saling mengecup, kami melirik pada Fadel. Wajahku pasti merah sekali bak kepiting rebus tertangkap lensa kamera. Ini belum seberapa, tapi rasanya benar-benar sensasional.

“Terus kak, alamiah aja, anggap aja aku nggak ada…” Ucap Fadel sambil tetap mengabadikan kami. Dia berdiri di tepi ranjang memotret aksi cium-ciuman kami di atas ranjang.

“Eh keterusan ya kamu, janjinya kan satu aja?” Protes Ochi. Aku tertawa. Dengan gemas kupeluk dan kucium pipi Ochi untuk menunjukkan bahwa aku tak keberatan.

“Chi…” Bisikku. “Ayo lagi.” Ochi menoleh dan kukecup bibirnya Kamipun lanjut cium-ciuman lagi. Tapi bagaimanapun juga kami tak bisa alamiah dan menganggap Fadel tak ada di situ. Karena jelas kami bukan lesbian. Lagipula kami ini sangat sadar kamera. Hihihi. Walhasil kami lanjut saling mengecup sambil terus melirik dan tersenyum genit ke arah Fadel. Ya, kami berpose. Menyadari itu, Fadel pun jadi berani untuk mengarahkan. Dia meminta kami untuk menggunakan lidah. Meski sumpah, canggung, kami menurutinya.

“Ditempelin lidahnya kak… Duh, iya begitu bagus… Cakep kak!”

“Kak Dira gigit lidah kak Ochi. Matanya pejam kak… Jangan dicucup kak, digigit… Liatin giginya… Iyaa gitu! Keren!”

“Kak Ochi peluk kak DIra dari belakang dong… Diremas susunya. Jangan ditutupin putingnya kak… Liatin di sela-sela jari. Iyaa gitu, cantik banget kak!”

“Kak Dira tengadah dong… Liatin leher jenjangnya. Duh, kakak cantik banget…! Kak Ochi gigit lehernya kak Dira…”

Begitulah Fadel mengarahkan kami sesuai apapun fantasi dia. Kami mencoba mengikuti maunya. Kadang kami kagok dengan arahan Fadel yang aneh-aneh. Maklum kami bukan model profesional. Haha. Tapi yang jelas aksi kami malah jadi makin alamiah karna rangsangannya bener-bener nggak nahan! Terutama pose yang terakhir saat Ochi menggigiti leherku. Aku menggigil, tubuhku menggeliat tak karuan. Ochi yang menyadari itu malah makin menjadi. Disusurinya leher jenjangku dengan bibir dan lidahnya. Di balik telingaku tiba-tiba daun telingaku digigitnya. Reflek aku makin menggelinjang.

“Aahh Chi…” Aku menggeliat mencoba menghindar tapi posisi Ochi di belakangku benar-benar menguntungkan untuk bisa terus mendominasiku dan terus meluncurkan serangan dengan mulutnya. Entah naluri atau memang sudah tahu titik-titik rangsang di tubuhku, yang jelas bidikan Ochi selalu jitu. Mulutnya terus menggerayangi dan menggigiti sepanjang daerah pundak leher dan telingaku.

“Ochiii… Aahh….” Mataku sayu dan mulutku terus mendesah, pasrah.

“Hihihi…” serangan Ochi mereda, aku kini bisa memutar tubuh menghadap dirinya.

“Mmhhhh…. Ahh… Cup… Cup…” Dalam sekejap kami sudah saling melumat lidah dan bibir lagi.

Sesuai arahan Fadel tadi, ternyata bisa juga pada akhirnya kami terbuai dalam aksi lesbian ini dan tidak lagi mempedulikan keberadaan dia dan kameranya. Ya… kami menikmatinya.

Kulit Ochi sangat halus dan lembut. Payudaranya padat dan kenyal, puting kami sama-sama mengeras dan terus bergesekan satu sama lain membuat kami makin terangsang maksimal. Dengan gemas aku meraih dan meremas buah dada Ochi. Aku melakukan gerakan mencakar sebagaimana tadi Ochi lakukan padaku. “Aaahhh…” Desah Ochi menggelinjang.

“Selama ini aku suka meraba-raba payudaraku sendiri,” bisikku. “Ternyata memegang payudara orang lain juga sangat menyenangkan ya? Hihihi…”

“Kamu cantik dan seksi sekali Chi… Andai aku punya kontol pasti sudah kuentotin kamu Chi…” Bisikku vulgar. Bisa-bisanya aku berkata begitu. Ochi tertawa kecil dan mengecup bibirku gemas. Karna ucapanku itu kami jadi melirik Fadel. “Tuh ada kontol satu… Hihihi.” Ochi meledek Fadel yang tampaknya mulai tidak konsen memotret.

“Kontol ga punya… tapi lidah punya kan?” Ochi beralih padaku lagi. “Jilmek aja mau?”

Aku tidak menjawab dan mengerutkan kening. Ochi tertawa. “Jilmek Ra… Jilat memek… Hihi…” Jelasnya.

“Ooh.. Haha… belum pernah aku Chi…” Jawabku ragu. Tentu saja, ciuman sesama cewek aja baru kali ini, apalagi jilat memek, hehe.

“Ah… iya… kalian jilmek dong” Malah Fadel yang jadi antusias.

“Yeeee… kamu ini dek” tawa Ochi.

“Ah… ayo dong kak.. jilat memek kak Dira… aku videoin deh…”

“Dasar… yang pengen videoin kan kamu”

“Hehehe”

“Gimara Ra? Kita turutin kemauan adekku yang mesum itu?” tanya Ochi meminta pendapatku. Aku masih diam karena ragu. Itu jelas perbuatan yang amat tidak pantas. Terlarang banget kan berbuat seperti itu dalam sudut pandang norma dan agama? ‘Iya kan Ma? Dosa kan?’ Batinku saat melihat bingkai foto orangtuaku. Meskipun begitu aku tidak memungkiri kalau aku juga penasaran. Rasa penasaran mengalahkan rasa bersalahku. Aku mengangguk.

Ochi tersenyum. Tangannya turun ke bawah dan meraba selangkanganku. Jarinya membelai dan membelah permukaan liangku. Aku tidak tahu apa yang saat ini dipikirkan Ochi. Dia terlihat tenang. Aku tidak tahu apakah batinnya juga bergejolak.

“Mmm… Aduh… Maluu Chi… Aahh..” Ucapku menggelinjang geli.

“Yaelah malu…” Ledek Ochi.

“Kamu sering dijilmek sama adek ya?”

“Ga pernah tuh, aku yang sepongin kontol dia terus…” Lagi-lagi kami cekikikan sambil melirik Fadel dan membicarakannya, tapi kemudian tak mempedulikannya lagi. Sukses kami membuat Fadel gemas. Salah sendiri tadi minta dianggap tak ada. Haha.

Tanpa menunggu persetujuanku, Ochi beringsut ke bawah. Tangan kak Ochi melebarkan pahaku hingga posisiku kini terlentang mengangkang. Berdebar-debar antara malu dan horny. Malu karna belum pernah melakukan ini sebelumnya dan posisiku mengangkang ini juga tepat menghadap ke arah Fadel. Namun harus diakui, rasa malu ini juga yang membuat tambah horny.

“Imut sekali memek kamu Ra… Bersih dan pink… Hihihi…” Ochi mendekatkan wajahnya hingga benar-benar berhadapan dengan memekku. Jarinya membelah bibir memekku lagi, menepuk-nepuk belahannya dengan dua jari dan menekan-nekannya. Selama beberapa saat Ochi menstimulir memekku dengan telaten, sementara aku lebih banyak menengadahkan kepala dan terpejam. Sungguh aku tidak habis pikir kenapa rasa malu ini begitu menyeruak? Aneh, tapi memang aku tidak menyangka sama sekali kami akan sampai melakukan seperti ini. Tahu-tahu Ochi berinisiatif dan aku tidak berusaha mencegahnya.

“Aahh… Chi….”

“Hihi… lihat ini kelentitmu sudah mencuat keluar dan tegang sekali…”

Aku masih memejamkan mata dan tiba-tiba kurasakan sentuhan di bagian yang disebut kak Ochi itu. “Aaiiiihhh… aahh….” Spontan aku mendesak panjang. Tubuhku bergetar bagai disengat listrik, sungguh beda dengan ketika aku menyentuhnya sendiri. Sambil tetap terlentang, aku mengangkat badanku dan bertumpu dengan siku. Rasanya ingin melihat aksi Ochi di selangkanganku. Ochi tersenyum melirikku, sementara jari di tangan kirinya membelah bibir memekku, tangan kanannya mengambil HPku yang dari tadi ada di meja kecil sebelah tempat tidur dan memotret selangkanganku dari jarak dekat.

“Chi….!” Protesku.

“Hihihi, aku share ke grup!” ucapnya.

“Kamu ih… Malu Chi…”

“Hehe.. muka kamu merah sekali. Gemesin. Kamu bener-bener malu ya Ra? Kok bisa sih?” Goda Ochi heran. “Tapi aku lihat kamu jadi ngaceng banget juga lho… Nih lihat kelentit kamu keras banget” Gumam Ochi menyentil-nyentil titik paling sensitif itu. “Ahh ahh ahhh..” Setiap sentilan membuatku bergetar dan mendesah. Agaknya aku memang baru melihat klitorisku mencuat keluar sampai seterekspos ini.

Tau-tau… Hap! Mulut Ochi mencaplok dan langsung menggigit-gigitnya. Terang saja aku makin menggelinjang dibuatnya, bahkan spontan pahaku kurapatkan menjepit kepala Ochi. “Mmhhh…” Bukannya terganggu, mulut Ochi malah makin gemas gigitannya.

“Aaoowwhh…” Aku melolong keenakan. “Ochiii… Aauhhh… Diapain sih ituku??” Kuangkat lagi tubuhku untuk melihat. Pahaku kembali mengangkang. Ochi yang makin leluasa kini gerakannya menjadi random, menggigit, menjilat jilat, mencucup, sambil sekali-sekali menatapku dan tersenyum. Meskipun tampaknya tekniknya asal, tapi rangsangan yang kuterima sungguh maksimal. Pinggulku terus bergetar-getar konstan, mulutku terus meracau sampai tak terasa air mataku keluar.

“Chi… Hati hati!” Seruku mengantisipasi saat Ochi sudah mulai menggunakan jarinya untuk mengobel memekku.

“Iyaa…” Jawab Ochi mengerti. Dia hanya memasukkan jarinya sebatas satu ruas. “Sejauh mana tadi kontol Eko kamu masukin?”

“Lebih dalam lagi sih Chi… Aahhh…”

“Segini…?” Pelan pelan Ochi memasukkan jarinya lebih dalam.

“Chii…”

“Segini?” Jari Ochi berhenti setelah terbenam hingga ruas kedua, lalu menggerak gerakkannya.

“Aahh… Mmmh…”

“Beresiko sekali nih… Kayaknya udah kena selaput dara kamu lho?”

“Mmhh… Ahh enaaak Chiii… Duhhh… Masa sih Chi? Tadi aku sempat merasakan perih sih…” Ucapku agak panik. Ochi tersenyum menggoda. Dikeluarkan jarinya dan mengecup ngecup gemas permukaan memekku sambil kami saling bertatapan. Ochi tampak tidak jengah sama sekali meski bibirnya sudah sangat basah berlumuran cairan cintaku. Sungguh terbuai aku dengan perlakuan Ochi ini. Saking gemasnya kuraih HP dan kubidik wajahnya dengan kameraku. “Senyum Chi…”

‘Ckrek’

Terabadikan satu foto pemandangan sebatas perutku ke bawah, dengan bulu kemaluanku yang tipis rapi, paha yang mengangkang lebar dan Ochi yang menungging telanjang berada di antaranya. Bibirnya yang menempel di permukaan memekku tersenyum manis dan matanya menatap sayu. Foto POV yang sempurna! Pikirku. Ochi benar-benar cantik dan tampak binal sekali. Tanpa ijin langsung kushare foto itu ke grup. Sejak Ochi share foto closeup memekku tadi belum ada komentar apapun. Agaknya teman-teman di grup sudah pada tidur. “Ya ampun, wajahku kelihatan Chi…” Protesku mengomentari foto closeup memekku itu.

“Hi hi hi, gapapa kan cantik…” Goda Ochi. “Fotoku cantik nggak?”

“Cantik dong.” Kutunjukkan layar HPku padanya.

“Hihihi…” Ochi tersenyum puas melihat fotonya barusan.

“Lagi dong Chi, sekarang divideoin ya? POV ku lagi.”

“Boleh! Hihihi… Eh, kamu ikut rekam juga ya dek?” Pinta Ochi pada Fadel.

“Dari tadi kak, hehe”

“Baguuuus, hihihi… Masih tahan kan dek? Belum pingin coli kan?” Ochi senyum-senyum menggoda adeknya. Fadel hanya tertawa cengengesan.

“Gerah ya? Buka baju boleh kok.. Hihi” Akupun ikut menggoda Fadel. Memang meski kamarku ber-AC, tapi tubuh kami mengeluarkan suhu panas akibat aksi yang kami lakukan.

Tanpa menunggu respon Fadel. Ochi langsung memulai aksinya lagi, kali ini dengan lebih sadar kamera. Apalagi kini ada dua kamera yang mengambil gambar. Yang satu dipegang olehku mengambil gambar dari POV aku. Satu kamera lagi dipegang Fadel mengambil adegan lesbian kami. Dengan terlihat lebih antusias, plus senyuman dan lirikan-lirikan nakal ke kamera, Ochi mengeksplorasi selangkanganku lagi. Aku yang jadi obyeknya sekaligus bertugas memvideokan dengan POVku jelas kewalahan. Sambil menggelinjang-gelinjang dan mendesah-desah keenakan, tanganku berusaha menahan HP yang men-shoot aksi Ochi itu supaya tidak terlalu goyang. Aku pun berinisiatif juga sekali-kali menukar kamera belakang dengan kamera depan, supaya wajah dan ekspresiku juga ter-shoot, hehe.

Suara kecipak lidah dan bibir Ochi di selangkanganku, berpadu dengan desahanku mendominasi ruangan. Tubuhku yang tak berhenti menggelinjang makin mengeluarkan suhu panas, hingga kulihat Fadel mulai membuka baju sambil terus merekam. Kadang dia sampai naik ke tempat tidur demi mendapatkan gambar yang lebih bagus.

Belum sampai 2 menit kemudian…

“Aaahhhh Ochi… Aku dapet, aku keluar Chii…!! Aahhh…”

“Aduh Diraaa…Aah… Kamu muncrat… Aaihh…Hahaha…”

Kugeletakkan begitu saja HP di sebelahku tanpa mematikan tombol rekamnya. Aku memejamkan mataku dengan nafas tersengal-sengal dan pinggul yang masih bergetar kelojotan. Kurasakan Ochi menaiki tubuhku, mencaplok dan melumat gemas putting susuku sebentar dan menindihku.

“Ochi… Ahhh…” Desahku sambil membuka mata. Kami bertatapan tanpa mengatakan apapun, dan hanya saling tersenyum penuh arti. Bibir Ochi terlihat basah oleh cairanku.

“A.. Aku squirt ya Chi?” Tanyaku tersipu.

“Hihi, nggak… Muncrat keluar sedikit aja… Kalo squirt udah basah kuyup deh wajahku…” Ochi mendekatkan bibirnya kepadaku. Tanpa merasa risih aku menyambut bibir yang berlepotan cairanku sendiri itu, dan kami pun berciuman panas. Kupeluk erat tubuh Ochi, kami bergulingan di kasur sambil tertawa-tawa.

“Enak nggak?” Tanya Ochi.

“Enak banget… Kamu nakal banget sih,” jawabku.

Kami berbaring bersebelahan dan mendapati Fadel berdiri di tepi ranjang yang kini hanya mengenakan boxer. “Hihihi… Buka semuanya aja dek” ujar Ochi. Kami cekikikan melihat wajahnya yang merah padam. Ochi bangkit dari ranjang dan memeluk adiknya itu. “Udah pingin coli kan? Ayo coli aja… Apa mau kakak coliin?” Ucap Ochi. Kali ini terdengar tidak seperti menggoda, melainkan tawaran tulus.

“Kakaak…” Desah Fadel.

“Buka dek…” Tangan Ochi memelorotkan boxer Fadel hingga kontolnya melompat keluar. Meski sudah biasa melihat kontol lain, aku tetap antusias melihat kontol baru. Dan kontol Fadel ini jelas Nampak lebih bersih dan terawat ketimbang kontol-kontol lain yang pernah kulihat. Ukurannya sedikit lebih besar dari kontol Eko. Aku terus memperhatikannya dengan senyum-senyum. Membuat Fadel tersipu. Tapi tak urung dia lolosi juga boxernya, hingga kini kami bertiga sudah sama-sama telanjang bulat. Dengan adanya kontol itu aku jadi berdebar dan membayangkan akan seperti apa aksi kami setelah ini.

“Videonya bagus nggak dek? Sini lihat” Ucap Ochi sambil mulai mengurut-urut batang kontol Fadel. “Lihat juga yang dari kamera kamu Ra”

“Aah iya, lupa ku-stop… Ya ampun sampai sekarang masih merekam. Haha…” Kuraih HPku dan bersama-sama kami duduk di tepi ranjang melihat hasil rekaman dari HP Ochi dan HPku. Fadel di tengah diapit aku dan Ochi.

“Hahaha… Yang dari HP kamu shaky banget jadinya…” Komentar Ochi melihat hasil rekaman dari HPku.

“Iyaa susah tau megangin HP sambil kelojotan…” Jawabku sambil melirik posisi Ochi yang rebahan di pundak Fadel. Tangan Fadel merangkulnya, sementara tangannya sendiri masih sambil memainkan kontol Fadel yang mengacung tegang di samping pahanya.

“Hihihi, seenak itu ya? Eh, wajahmu kok dishoot juga… Katanya malu?“

“Iyaa, kan aku juga pingin eksis… Hahaha.”

“Tapi cantik banget deh kamu dengan ekspresi keenakan kayak gitu… Kamu berbakat tuh jadi bintang bokep! Iya nggak dek? Hehe,” celetuk Ochi asal.

“Iiihhh… Kamu juga dong…”

“Kalo aku berarti berbakat jadi sutradara bokep ya kak? Hehe…” Ujar Fadel nimbrung.

“Iyaa, kamu jadi sutradara aja, gak usah ikut main ya? Hehe.”

“Duuh, aku kan pingin ikut main juga…”

“Ga boleh.” Tukas Ochi tegas. Yang dimaksud Fadel tentu ngentot dengannya, kakak kandungnya sendiri. Aku menduga kuat, Fadel pasti sudah sering memintanya tapi Ochi keukeuh menolak. Kubayangkan seandainya aku jadi Ochi, akan kukabulkan permintaan Fadel atau nggak ya? Pikirku.

“Kalo mainnya sama kak Dira?” Tanya Fadel ngarep. Aku tertawa saja meresponnya.

“Hihi, pede banget kamu, emang Dira mau?” Ledek Ochi.

“Kalo aku mau, kamu bolehin Chi?” Celetukku sambil melirik Fadel.

“Hahaha…” Kami tertawa bersama, Ochi beranjak dari pundak Fadel lalu menciumku. “Jangan goda adekku dong Ra…” Pintanya mewakili Fadel yang hanya tersenyum kecut. Aku tertawa tanpa mengonfirmasi apakah aku serius atau sekedar menggoda Fadel. Sejujurnya aku sendiri tidak tahu. Secara pemikiran sesungguhnya aku sudah mulai terbuka dan mengharapkan seks. Tapi kalau harus dengan Fadel kali ini, susah dibayangkan. Fadel cakep sih, tapi aku belum terlalu kenal dia, dan sampai sekarang pun sebenarnya aku masih canggung dengan keberadaannya.

“Kamu kok bisa ngelakuin lesbian kayak tadi… Kamu binal banget ya Chi… Udah biasa ya?” Kucoba mengalihkan pembicaraan.

“Hehe… Belum pernah”

“Aku share ke grup ya videonya…?”

“Iya dong. Hihihi…”

Sambil mengupload video dari HP kami masing-masing, tiba-tiba aku ingin mempertanyakan sesuatu yang sedari tadi menggelitik di benakku. Entah tepat atau tidak momennya, aku cuek aja mengutarakannya. “Chi…” Gumamku.

“Ya?”

“Mmm… Kamu kok masih perawan sih? Hihi.” Tanyaku to the point sambil melirik Fadel juga. Wajah Ochi memerah, dia juga kemudian melirik Fadel yang juga memerah. “Kamu ini…” Tukas Ochi.

“Serius pingin tahu… Penasaran. Tapi gak harus jawab sih.”

“Mmm… Maksud kamu sama Fadel?”

“Iyaa… tapi sama siapa aja sih.”

“Kalo sama adek kan udah kubilang, aku nggak berani.”

“Kenapa?”

“Duh… Kenapa ya… Ya klise, masa ngentot sama adek sendiri.. kan dosa” Ochi menghela napas dan melirihkan suaranya. “Kamu mungkin nggak percaya ya kita udah sejauh ini tapi gak pernah ML?”

“Hehe, percaya kok”

“Ya gitu deh Ra… Kalo dia sih gak mikir deh tuh…” Sindir Ochi. Aku tertawa.

“Yak, kita tanya bagaimana pandangan Fadel!?” Ucapku berlagak jadi host talkshow.

“Aa.. Apaan sih” Sahut Fadel jengah.

“Hihihi… Penasaran dek… Kamu nggak pingin ngentotin kakak kamu yang cantik ini?” Aku sadar pertanyaanku mungkin mengganggu mereka, tapi rasanya gatal kalau tidak menanyakannya.

“Sudah jelas itu lah” Bukannya Fadel, malah Ochi yang menjawab. Aku tertawa geli lagi.

“Beneran dek?” Aku masih memburu Fadel.

“Iya, hehehe” Fadel menjawab singkat sambil meringis.

“Kok iya, kakak kandung kamu lho ini? Hihi.”

“Haha, kan udah kubilang Ra… Kalo adek mah nggak mikir… Bandel” sahut Ochi.

“Kan gara-gara kakak juga,” sahut Fadel bersungut-sungut.

“Tu kan mesti deh yang disalahin cewek. Emang jadi cantik salah ya?” Gumam Ochi memasang raut manja.

“Makanya, udah tau cantik, pakaiannya jangan sembarangan dong… Kan nafsuin.” Balas Fadel gemas.

“Weeek… Kamunya aja yang kebanyakan nonton bokep.”

“Kalo sama pacar? Kamu punya pacar kan Chi?” Tanyaku.

“Sekarang sih ada… Kok tahu? Kami pacaran serius Ra. Kayaknya aku bakal nikah sama dia… Makanya gak mungkin kan aku incest sama Fadel, hihihi.”

“Nah iya, kok nggak ML sama pacar kamu?”

“Dia nggak minta. Hihihi… Lagian kan lebih asik kalau ML setelah kami nikah”

“Haha, kalo dia minta emang dikasih?”

“Sepertinya” jawab Ochi ragu. Ku lihat wajah Fadel yang sepertinya cemburu. Ochi juga menyadarinya. “Ciee, adek cemburu… Hihi, kamu juga cari pacar dong dek… Kakak tu takut lho suatu hari kamu lupa diri trus kebablasan kayak adeknya Risa.” Ochi mewanti-wanti serius sambil membelai-belai pipi Fadel.

“Hahaha… Kalo ngarep, kenapa nggak kamu yang inisiatif minta?”

“Gak mau… Aku takut malah ngerusak hubungan Ra…” Jawab Ochi serius.

“Ooo… Duh, apa kayak aku sama Eko ya?” Aku jadi membayangkan kejadian dengan Eko tadi. Dimana aku yang akhirnya meminta disetubuhi, tapi Eko malah menolak. Tapi bedanya, Eko sebelumnya udah sering minta sih. Pikirku menerawang.

“Kamu nyesel tadi Ra? Udah minta eh ditolak…” Tanya Ochi.

“Mmm… Nggak juga sih… Tapi kecewa aja.”

“Kamu serius jatuh cinta sama Eko?”

“Hahaha… Nggak tahu Chi. Tapi hubunganku sama cowok paling dekat ya sama Eko. Cinta? Mmm mungkin aja ya… Tapi bukan yang kayak buat dijadiin suami gitu. Haha, nggak lah…”

“Berarti nafsu aja tuh…”

“Aku belum bisa bedain Chi…”

“Trus masih serius pingin lepas keperawanan ke dia?”

Aku diam sejenak. Kurenungkan dan kupikirkan dengan baik jawaban untuk pertanyaan itu. Setelah mantap dengan pemikiranku, aku mencoba merangkai kalimat dan mengutarakannya. “Mmm… Yang jelas kalau aku sudah menemukan orang yang pas dan momen yang pas, aku bersedia nyerahin segalanya, termasuk keperawananku…Gak perlu nahan-nahan lagi harus yang nikah dulu. Ga tahan. Pengen banget ngerasain yang namanya ngentot. Aku selama ini selalu menahannya karena terhalang ajaran agama dan kata-kata orangtuaku. Tapi sekarang sudah waktunya aku memutuskan sendiri apa yang aku mau. Aku ingin bebas… bebas melakukan apapun yang aku mau. Aku gak ingin terkekang aturan-aturan lagi… Kalaupun kata orang itu dosa, biarin aku menanggungnya… biarin aku nikmatin dosa itu…”

Ochi sejenak tertegun mendengar jawabanku.”Serius banget sih jawabnya? Hihihi” Aku hanya memeletkan lidah. Aku memang serius mengutarakannya. “Kamu pingin seks bebas? Kamu kepengaruh grup banget ya?”

“Mungkin…. hihihi…. Terus terang, aku belum bayangin kalo yang sampe gonta-ganti pasangan, seks sebebas-bebasnya dengan banyak cowok gitu sih Chi seperti Farah dan yang lain. Untuk yang seperti itu aku ya open mind aja sih sekarang. Aku terbuka dengan ide dan peluang ngeseks kaya gitu. Aku pikir, kenapa tidak? Kayaknya kan asik juga tuh. Hehehe…” Lanjutku berfantasi.

“Ya udah kak… tunggu apa lagi… sama aku aja yuk kak…” Celetuk Fadel mupeng.

“Hihihi… Sudah kuduga deh kamu bakal ngomong gitu. Dasar!” Cibirku. “Maaf ya dek, aku belum lama kenal sama kamu. Kamu emang lebih ganteng dari Eko sih, hihihi… tapi ini kan bukan masalah tampang doang”

“Beruntung banget yah si Eko… Rasain! Kalah kamu dek, hihihi” Ochi menimpali. Sambil mengucek rambut Fadel yang tersenyum kecut. “tapi menurutku sih Eko sebenarnya masih pengen ngentotin kamu… Eko tadi kan ngaku datang cuma mau nganter undangan. Habis itu dia udah ditunggu sama calon istrinya mau pergi ke manaaa gitu kan?” tanya Ochi lagi.

“Hmm, iya… Katanya gitu”

“Makanya, kalo dia turutin nafsunya tadi, kasihan calonnya nungguin terlalu lama. Salah-salah bisa digrebek kalian sama calonnya Eko sama pak satpam juga. Hahaha…”

“Hahaha… Waduh gawat banget tuh kalo sampai kejadian begitu! Masuk akal juga Chi… Jadi menurut kamu, Eko sebenernya masih mau?”

“Pasti! Tapi jangan kamunya yang minta lagi… Jual mahal aja, kamu eksib kayak biasanya ke dia, kasih rangsangan-rangsangan ke dia, tapi jangan minta! Biarkan dia yang nggak tahan dan dia duluan yang minta lagi… Nah kalo udah gitu, terserah kamunya deh mau dimainin kayak gimana…”

“Tapi aku itu udah gak ketemu dia Chi… Gak kayak dulu…”

“Hah, kenapa?” tanya Ochi bingung. Ochi tentu saja belum tau cerita lengkapnya, karena tadi aku hanya cerita garis besarnya saja.

“Duh, panjang cerita sebelumnya Chi… Eko itu udah sekian lama gak datang, karena aku emang nyuruh dia jangan datang lagi… Habisnya aku kasian sama pacar dia kalo sekedar buat pelampiasan. Kalo Eko sampai begitu, rasanya aku jadi benci sama dia Chi… Paham kan?” Aku menghela napas dan melanjutkan. “Eh ternyata dia nurut Chi… Ga pernah datang lagi dia. Eh, tau-tau tadi datang bawa undangan. Hihi… Makanya perasaanku tadi itu ada yang rindu, campur kagum, campur gemas, campur rasa terimakasih juga karna udah ditolongin! Dan ada rasa sedih juga karena ternyata dia mau nikah. Pokoknya tadi perasaanku campur aduk gitu deh Chi…”

“Trus kalo dia mau nikah gitu, kamu jadi merasa bersalah kalo ngajak dia ngentot tadi?”

“Nggak! Aku tetep pingin dientotin sama dia… Peduli amat sama istrinya”

“Hahaha… Farah ente Dira… Perusak rumah tangga orang.”

“Kan aku nggak minta dinikahin Chi… Cuma minta dikawin aja tadi,” Ucapku berargumen. “Tapi ya udah deh, udah lewat juga….”

“Ya jangan gitu dong… kan katanya cinta, kamu pedekate dia aja lagi… Kan udah ketahuan kalau dia tanggungjawab sama pacarnya. Trus dia hormatin kamu, mau nurut gitu… Lulus tes dia… Kamu kasih hadiah lah. Hehe. Kalo gak mau dia datang, kamu aja yang ke rumah dia… Surprise!”

“Hahaha, liat ntar deh… asik juga kalau kerumahnya, asal jangan kena usir istrinya aja”

“Hihihihi” Kami cekikikan bareng, tapi Ochi menyadari Fadel yang diam aja dari tadi.

“Kamu kok diam aja dek? Dah ngantuk ya? Sana bobo…” ucap Ochi.

“Nggak ngantuk… Mmm… Kakak bener mau nikah ya sama pacar kakak itu?”

“Yaelah kamu kepikiran itu dari tadi dek? Hihi. Emang kenapa? Wajar kan kalo kakak mau nikah sama dia?”

“Tapi aku nggak suka dia kak.”

“Deek, selama kamu mendam perasaan ke kakak, siapapun calon kakak ya ga bakalan ada yg bener di mata kamu deh.” Omel Ochi. Fadel terdiam.

“Kakak mau nikah sama presiden pun juga kamu gak bakalan suka dek, kalo kamu cinta sama kakak…”

“Kakak gak cinta sama aku?” Ucap Fadel lugu. Ochi tertawa dan menggeser tubuhnya menghadap Fadel lagi. Dicubitnya pipi Fadel gemas. “Kamu cinta kakak atau nafsu dek? Hihi…” Ucapnya.

“Cinta lah kak… Kakak gak cinta sama aku?” Fadel mengulang pertanyaannya.

“Cintaaa dek, tapi kita tu kakak adek…”

“Aku gak mau kakak adekan doang, aku maunya….” ‘cup’ Ucapan Fadel terhenti karena Ochi yang tiba-tiba mengecup bibirnya. Fadel langsung terdiam gitu. Ochi kemudian memeluk adeknya.

“Ya ampun kalian ini…” Celetukku gemas. Aku malah yang jadi tersipu melihat tingkah mereka. Lagi-lagi pamer kemesraan di depanku. Duh aku dicuekin, celetukanku tidak direspon. “Aah haus… Aku ambil minum ya?” Ujarku. Aku memang haus, jadi aku langsung berlalu aja ke dapur tanpa menunggu jawaban.

Sekembalinya dari dapur aku malah mendapati Ochi dan Fadel sedang berciuman. “Ehemmm!” Aku berdehem, tapi mereka tak bergeming. Sampai aku naik ranjang dan duduk di samping mereka, ciuman mereka malah makin panas dan saling memagut. Bunyi kecupan dan decak lidah mereka terdengar jelas menggoda telingaku. Bahkan sekarang tangan Ochi sudah mulai mengocok-ngocok kontol Fadel. Tambahlah suara desahan mereka berdua dan kocokan Ochi menghiasi kamarku. Kuputuskan untuk memperhatikan sejenak tingkah mereka. Benarkah perasaan mereka tidak sekedar nafsu, tapi juga cinta yang tulus? Yang berbeda dengan cinta saudara kandung? Pikirku gemas.

“Chi…”

“Ochi!”

“Iihhh… Kalian nyebelin!” Omelku sambil merangsek memeluk Ochi dari belakang.

“Hahaha… Aduh Ra… Gangguin ajaa… Yuk dek, pindah kamar sebelah! Hihi…” Goda Ochi.

“Gak boleehh… enak aja ninggalin aku sendiri,” sergahku manja.

“Duh, gimana nih Dek… diganggu nih…” ucap Ochi ke Fadel.

“Hehehe… Gak apa kak… kalau kak Dira pengen gabung malah bagus, hehehe” ucap Fadel cengengesan mesum.

“Ish… dasar, malah senang,” ujar Ochi menjewer hidung adeknya.

“Kak Dira…. jilatin memek kakakku dong… kan giliran kakak yang jilatin memek kak Ochi, hehehe” pinta Fadel cabul tiba-tiba.

“Hushhh… enak aja kamu nyuruh-nyuruh kak Dira gitu…” seru Ochi menjitak kening Fadel. Aku tertawa melihatnya.

“Gak apa kok Chi… aku mau kok”

“Serius kamu mau?” Bisik Ochi berbinar.

“Tadi kan kamu udah bikin aku enak, sekarang gantian” balasku.

“Hehe, aku gak maksa harus gantian kok…”

“Gak apa… aku mau Chi… mau coba…”

“Ya udah… Berarti kita threesome dong?”

“Ayoook!” sahut Fadel bersemangat. Aku dan Ochi tertawa. Jelas dialah yang paling menikmati. Menang banyak dia malam ini. Hahaha.

“Aku sepongin adek, kamu jilmekin aku ya…”

“Hihi… Iyaa siap.” Dengan nakal aku meraih bingkai foto orangtuaku di meja samping ranjang dan kupandangi. “Maaf ya Ma, Pa… pergaulan Dira rusak begini. Ini malah mau lanjut lesbian lagi, juga threesome… Zinah banget kan Ma itu namanya? Dosa banget kan Ma? Huhu… Gara-gara kak Ochi tuh Ma… udah ngajarin Dira yang gak bener… ” Ucapku manja mengajak bicara Mamaku di dalam foto sambil melirik nakal pada Ochi yang ikut tertawa gemas merespon tingkahku.

“Fitnah tante, hihihi” Timpal Ochi tiba-tiba nimbrung hingga bingkai foto itu jatuh ke tempat tidur. Kamipun cekikikan bareng.

Selanjutnya kami bertigapun langsung mulai. Kami malah kagok mengatur posisi. Sambil tertawa-tawa antusias kami mereka-reka posisi yang paling strategis. Fadel dengan gokilnya malah mengusulkan aku dan Ochi sama-sama mengoral kontolnya.

“Ish… maunya! Tapi boleh juga sih nanti…” kerlingku. Dalam hati aku penasaran juga karena pengalaman baru tentunya.

“Haha… Dia sih banyak maunya… Gak perlu diturutin semua Ra…” ucap Ochi yang kini sudah berbaring telentang dengan kaki mengangkang. Aku tertawa kecil, bagiku sih kalau asik kenapa nggak, haha. Akupun kemudian mengambil posisi tengkurap di depan selangkangan Ochi dan langsung mengoral vaginanya.

‘Ckrek!’ Aku sempat-sempatin dulu selfie dengan bibir menempel di vaginanya. Ochi tertawa melihatku, lalu mulai melakukan blowjob pada adeknya. Posisi Fadel berlutut di sebelah kepala kakaknya itu.

“Ahhh… Ra…. kamu ternyata pinter… hihihi… shhhhhh” desah Ochi menerima jilatanku di sela-sela aktifitasnya menyepong Fadel. Aku senang Ochi suka.

“Mmmmhhh….” aku membalas dengan suaraku tertahan karena mulutku terbenam di memek Ochi.

Selanjutnya yang terdengar di kamar ini hanya suara desahan berserta suara kecipak lidah dan bibir yang bertemu kelamin. Kami bertiga saling mengoral kemaluan satu sama lain dengan liar. Sungguh cabul dan tidak bermoral. Kami seperti lupa diri dan tidak mengindahkan norma apapun lagi. Tidak peduli kami baru kenal kurang dari sehari, tidak peduli kami sama-sama perempuan berjilbab dan seorang adik kandung yang seharusnya saling menasehati dan menjaga. Kami malah melakukan perbuatan yang tidak senonoh. Lenguh desah dan keringat memenuhi kamarku. Dinginnya AC tidak mampu mengalahkan hawa panas yang kami keluarkan dari tubuh masing-masing.

Saat Ochi asik menyepong penis adeknya, aku juga asik mengeksplor vagina perawan di depanku. Aku menikmati tugasku tanpa risih dan jijik sama sekali. Aku justru kagum. Baru kali ini aku melihat kemaluan wanita lain secara langsung dari dekat. Mengamati teksturnya, labia dan klitoris. Meski sederhana, bentuknya sangat indah dan menggemaskan. Klitoris itu seperti tombol getar, yang setiap disentuh, empunya langsung menggelinjang. Aku tidak sungkan untuk mencaplok dan menggigit klirotisnya seperti yang Ochi lakukan padaku. Lidahku menari-nari di bibir vaginanya. Liangnya tidak henti-hentinya mengeluarkan cairan, rasanya ingin kueksplorasi sampai mengering, sayang liang yang masih perawan itu tidak mungkin kuobok-obok sampai ke dalam-dalamnya. Ochi berkali-kali merintih manja begitu jariku mencapai selaput daranya. Seksi sekali suaranya.

Aku menjilati memek Ochi dengan berbagai macam posisi. Ketika puas dengan posisi Ochi yang telentang, sekarang aku yang telentang, sedangkan Ochi menduduki wajahku. Fadel sendiri berdiri di samping kakaknya ngentotin mulut kakak kandungnya itu. Ochi menggerakkan pinggulnya seperti orang bersetubuh. Dia tampaknya sedang horni sampai gerak-gerakin pinggul seperti itu. Jadi susah deh aku jilatin memeknya, haha. Aku aja walau kebagian tugas menjilati memek tapi juga jadi horni banget. Ugh…. cewek berjilbab macam apa aku ini menikmati banget jilatin memek >,<

“Ah… Chi… diem dong…” Aku yang gemas akhirnya menahan Ochi dengan merangkul pinggangnya. Diapun jadi gak bergerak lagi, sehingga aku bisa jilmekin Ochi dengan benar, hihi.

“Ganti posisi lagi yuk kakak kakak, hehe” ajak Fadel yang sepertinya lelah berdiri. Sekarang Fadel yang telentang, Ochi menungging sambil kembali menyepong kontol adeknya. Sedangkan aku berada di belakang Ochi menjilati memek seniorku itu. Kadang gak hanya memeknya yang kujilati, tapi juga lubang pantatnya. Bentuknya yang imut bikin aku gemas sih. Lubang pantat Ochipun habis kujilati dan kutusuk-tusuk pake lidah dan jariku. Duh… makin gila aja.

“Ahhh… Dira… nakal ya kamu….” lirih Ochi merespon aktifitasku. Dia tampaknya menikmati perlakuanku. “Ah… Awas ya… nghhhh…. nanti aku balas” tambahnya yang menggelinjang kegelian. Aku membalasnya dengan tertawa. Justru aku gak sabar menerima pembalasannya nanti ^o^

Meskipun aku berkata kalau kali ini adalah giliran aku untuk jilmekin Ochi, tapi Ochi kemudian menawarkan untuk kembali jilmekin aku, lebih tepatnya memaksa sih, haha. Sebenarnya aku ingin terus jilmekin Ochi sampai dia orgasme, tapi aku gak nolak kalau Ochi mau jilatin memekku lagi, soalnya enak sih, hihihi. Akhirnya kamipun saling jilat memek. Saling kobel dan saling colek kelamin. Berkali-kali kami nyaris membobol gawang selaput dara satu sama lain.

Posisi kami berganti-gantian, duduk, berdiri, berbaring dan berguling-gulingan di atas ranjang yang sebenarnya tidak terlalu besar. Ochipun beneran membalas perbuatanku tadi dengan memainkan lubang anusku pake lidah dan jarinya. Rasanya gak nahan! Aku kewalahan. Aku yang gampang horni langsung kelojotan dibuatnya. Gak butuh waktu lama hingga akhirnya aku orgasme. Huhuhu… padahal niatnya pengen bikin Ochi orgasme, malah aku yang orgasme duluan.

“Hihihi… Dira…..! Malah kamu yang muncrat, hahaha” gelak Ochi. Aku tersenyum saja dengan wajah sayu. Aku harus segera bikin Ochi orgasme untuk balas budi! Aku jadi merasa berdosa kalau belum bikin Ochi orgasme. Dengan cepat aku menubruk tubuhnya lagi. Betul-betul gak bermoral. Kami kembali saling cium, saling pelukan, saling menjilati buah dada, hingga saling menjilati memek dengan sepenuh hati. Aku heran kenapa aku bisa sangat menikmatinya, seakan-akan aku memang seorang lesbian. Aku juga yakin kalau Ochi kali ini tidak lagi sekedar nyenangin adeknya. Dia menikmatinya. Ugh… Akhwat gak benar nih kami, haha.

Selagi aku dan Ochi asik bercumbu, Fadel sesekali mencari kesempatan untuk mengelus dan meraba-raba tubuh kami, terutama tubuhku. Takut-takut gitu dia awalnya nyentuh aku karena mengira aku akan marah. Tapi karena terus aku diemin, perlahan dia makin berani jamahin aku. Yang mana tadinya hanya mengelus tangan, betis, punggung ataupun membelai kepalaku, kini mulai berani meremas pantat dan menggerepe buah dadaku. Tangannya kini sudah berani mencolek putingku yang berdiri mancung. Ugh… makin horni aku dibuatnya! Malam ini betul-betul jadi malam yang ‘panas!’

Bingkai foto orang tuaku yang masih tergeletak di ranjang, kadang tertindih oleh badan kami yang bahkan tidak merasa terganggu sama sekali. Parahnya bahkan ketika Ochi orgasme, dia muncrat membasahi foto itu. Aku memekik ketika menyadarinya.

“Kyaah Ochiii… Ga sopan kamuu. Duuh… Maaf ya Papa Mama… Hahaha” Kuangkat bingkai foto itu, lalu kutepis-tepiskan ke arah Ochi. Kami tertawa-tawa lagi. Buru-buru kukembalikan bingkai foto itu ke atas meja di samping ranjang. Dan, aksi kami pun kembali dilanjutkan. Kami belum puas. Tepatnya aku belum puas, haha. Entah berapa lama lagi kami bertiga masih saling mencumbu setelah itu. Dan di sela-sela percumbuan itu tak lupa kami saling mengambil foto dan share di grup. Entah berapa foto yang sudah kami share, kami tak menghitungnya. Biarlah besok pagi teman-teman mendapati grup penuh foto cabul kami berdua dan Fadel. Hahaha. Cukup lama juga aku dan Ochi kembali saling memuaskan sambil digangguin Fadel. Kami muncrat berkali-kali, tapi aku yang paling sering.

“Eh… ayo dong kalian nyepongin kontolku bareng-bareng” pinta Fadel yang sepertinya penasaran banget dari tadi pengen merasakan dioral dua kakak-kakak cantik.

Ochi melirik ke arahku. Karena aku lagi horni, akupun langsung tersenyum mengangguk. Aku pikir tidak ada salahnya menambah pengalaman. Aku sudah pernah mengulum penis Eko sebelumnya. Ini akan menjadi penis kedua yang masuk ke mulutku. Tapi gak tahu juga sih apakah nanti bakalan ada penis ketiga, keempat dan seterusnya yang kusepongin, hihi, binal ah.

“Dasar nakal kamu dek… nih kita turuti kemauanmu, senang kamu!?” ucap Ochi setelah mencubit hidung adeknya. Fadel hanya cengengesan bangga. Akupun ikut tertawa.

“Yuk Chi… Sini dek kontolmu….” kerlingku.

Aku dan Ochi lalu berlutut di depan Fadel dan mulai melakukan oral padanya. Sulit digambarkan rasanya ketika aku menjilati batang penis tersebut, apalagi ketika penis itu masuk ke mulutku. Seperti dengan Eko waktu itu, lagi-lagi aku terangsang hebat ketika mulutku dijejali penis. Bikin rasa horniku makin menjadi-jadi. Memikirkan kalau kelakuanku ini jorok, memikirkan kalau penis yang bukan muhrimku berada di mulutku, justru membuat vaginaku jadi tambah basah. Lacur kan?

Rasanya berbeda ketika mengulum penis Eko. Mungkin ukurannya. Punya Fadel agaknya sedikit lebih besar dari Eko. Wajar sih karena Eko masih SMP, sedangkan Fadel udah jadi mahasiswa. Punya Fadel juga lebih terawat dibanding Eko.

Yang bikin seru tentu saja karena harus mengoral penis berdua dengan Ochi. Sama-sama kita mengoral kontolnya si Fadel. Bergantian menjilat dan mengulum, dan bahkan berebut. Aku dan Ochi sering tertawa cekikikan karena berebutan. Gemes sendiri aku melihat Ochi yang walaupun udah sering tapi tetap gak mau kalah, hahaha. Ah…. Begitu seksi dan erotis sekali adegan double blowjob ini ketika ku lihat dari cermin. Terlihat jelas gimana lacurnya kelakuan kami ini. Tubuh putihku tampak memerah karena kepanasan dan mandi keringat. Wajahku apalagi, lebih berantakan. Tapi aku tetap merasa cantik, bahkan ku rasa aku jadi tambah seksi deh. Hahaha… pe de.

“Lihat sini dong….” ucap Fadel mengarahkan kamera hape pada kami. Dengan cepat aku memasang ekspresi seimut dan senakal mungkin, begitupun Ochi.

Ckrek! Sebuah foto diambil. Sebuah pose yang amat cabul terabadikan. Dua cewek kuliahan yang cantik, putih mulus, sedang menempelkan lidahnya pada sebatang penis!

“Duh… cantiknya kalian….” puji Fadel yang bikin aku tambah semangat. Selama dioral, diapun terus berkali-kali mengambil foto kami. Tapi dia tidak bisa terlalu berlama-lama. Gak tahan dianya. Ya iya…. siapa juga cowok yang bisa nahan disepongin dua cewek cakep sekaligus ^o^

Ketika akan merasa keluar, Fadelpun meminta berhenti. Aku dan Ochipun ngeledekin dia.

“Hahaha… kan kamu sendiri yang minta dek…” ledekku.

“Hihihi… adeek adekkk” gelak Ochi.

“Iya kak… aku suka kok, tapi gak pengen cepat-cepat ngecrot, hehe”

“Hahaha, ya deh… terus sekarang ngapain?” tanyaku. Fadel menatap buah dadaku. Sepertinya aku tahu apa yang akan dipintanya, haha.

Benar saja, Fadel ingin melakukan titfuck denganku. Dia sepertinya tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan. Sumpah deh mesum banget ni anak, gak salah yang Ochi bilang, haha. Lagi-lagi karena emang udah kebawa nafsu dari tadi, akupun membolehkan. Ku persilahkan dia ngentotin buah dadaku. Dengan akunya yang masih berlutut, Fadel mendekati dadaku. Akupun dengan senang hati membantu merapatkan buah dadaku dengan tangan sehingga penisnya bisa keluar masuk dengan leluasa.

Ejakulasinya Fadel yang sudah kesekian kali ditunda pada akhirnya tidak terbendung lagi. Dengan cepat dia menarik kontolnya dari dadaku dan memanggil kakaknya.

“Kak aku keluaarr…!” Erang Fadel.

“Sini buat kakak…” Ochi sigap mencaplok dan mengoral kontol Fadel dengan lahap. Kepalanya naik turun di atas selangkangan Fadel sampai akhirnya Fadel meledak.

“Kaakk… Aahhh….”

“Mmhhh…. mmhhh.”

Aku tidak melihat semprotan sperma Fadel, hanya batang kontol yang berkedut-kedut karna mulut Ochi sama sekali tidak dia lepaskan dari ujungnya. Ochi merem melek seirama dengan kedutan di kontol Fadel. Takjub aku melihatnya. Peju Fadel dikeluarkan di mulut kakak kandungnya itu seluruhnya. Tak ada setetespun yang mengalir keluar dan terbuang. Fadel mengerang panjang sampai titik peju penghabisan dan terhempas lemas. Ochi duduk sambil tertawa namun tanpa membuka mulut. Bibirnya terkatup rapat sambil melirikku. Gemas aku melihatnya, ternyata Ochi tak langsung menelan peju Fadel, melainkan menyimpannya di mulut.

“Mau Chi…. ” Ucapku tanpa mikir. Entah dapat ilham darimana aku sampai berkata seperti itu. Ochi sendiri seakan gak percaya aku berkata demikian. Dia kembali tertawa tanpa membuka mulut. Ochi kemudian mendekatiku. Tanpa merasa jijik kami kemudian melakukan cum swaping! Ochi memindahkan peju adek laki-lakinya itu dari mulutnya ke mulutku. Setelah peju itu tertransfer seluruhnya, giliran aku yang menutup mulutku rapat. Meskipun aku tidak jijik, tapi aku masih belum tahan dengan aroma sperma, apalagi memenuhi mulutku begini. Sementara Ochi cekikikan sambil mengecupi bibirku. Dia tahu kalau aku belum terbiasa. Ya sebelum ini lagi-lagi memang hanya peju Eko yang pernah masuk ke mulutku. Itupun langsung ku muntahkan.

Kami menoleh pada Fadel yang menatap pias. Sambil tertawa menggoda, Ochi memberi aku isyarat untuk memindahkan peju Fadel ke mulutnya lagi. Dengan antusias aku pun menurutinya. Peju Fadel ini cukup banyak dan kental sehingga terasa penuh di mulutku. Meski bukan pertama kalinya ini aku merasakan peju, tapi rasanya sungguh berbeda kali ini.

“Bentar kak… Ku videoin.” Usul Fadel.

“Ah iya hampir lupa, bentar Ra… Ayo dek…” Sahut Ochi antusias.

“Hu’ummm…” Gumamku dengan mulut masih penuh peju.

Begitulah Fadel merekam akhir dari aksi kami malam ini. Sungguh cabul rasanya memindahkan peju dari mulut ke mulut kami. Rasanya, jangan ditanya. Jijik jelas. Tapi entah bagaimana kami bisa mengesampingkan itu. Karna saat Ochi memindahkan peju ke mulutku Fadel belum sempat merekam, kami pun mengulanginya lagi. Ya ampun… aku menerima peju dua kali dari mulut Ochi! Supaya adil aku memindahkannya lagi ke mulut Ochi. Haha. Sungguh gila! Setelah seluruh peju kuludahkan ke mulut Ochi lagi, bukannya menelannya, Ochi malah memburu bibirku dan melumatnya. Kami saling memagut lidah dalam keadaan peju Fadel masih utuh di mulut Ochi. Walhasil sebagian peju mengalir ke mulutku, sebagian besarnya lagi mengalir keluar dan menbasahi dagu kami. Seakan tak ingin menyia-nyiakannya, Ochi menjilati dagu dan sekitar mulutku untuk membersihkan seluruh peju di situ dan menelannya habis. Aku pun merasa berkewajiban untuk melakukan hal yang sama pada Ochi, tapi tidak ku telan, hanya ku jilati, ku kumpulkan di mulut lalu ku kembalikan lagi pada Ochi untuk ditelannya.

“Slurrpphh… Slurrpp… Mmuaahh… Mmmhh… Cup cup….”

“Hihihi…” Kami tertawa dan saling menatap untuk beberapa saat, sebelum kemudian berpaling ke kamera sambil saling menempelkan pipi kami. Kami pun seakan berlomba-lomba memasang wajah imut.

“Cantiiik…” Desah Fadel lirih. Dia mematikan rekamannya dan menghempaskan diri.

“Lihat hasilnya deek…”

“Ini lihat sendiri kak…” Gumam Fadel mengacungkan HPnya, tanpa bangkit lagi. Agaknya lemas sekali dia. Sebenarnya kami juga sudah sangat kehabisan tenaga. Setelah saling menyeka wajah dengan tissu sekedarnya, kami pun berbaring sambil melihat rekaman terakhir kami malam itu.

“Yaa ampun Chi, cabul banget kita…”

“Hihi… Dishare nggak nih?”

“Wajib! Haha…”

“Sayang awalnya ga kerekam ya…”

“Nanti dituduh hoax lagi, dikira bukan peju beneran, hihihi”

Setelah mengirim video ke grup, kami tidak menunggu video itu terupload sempurna, kugeletakin begitu saja HPku sambil menguap. Ochi berbisik menunjuk Fadel yang sudah terlelap. Aku mencegah Ochi membangunkannya. “Biar Chi. Gapapa.” Gumamku. Berat sekali rasanya mataku. Ochi juga sudah mulai menguap. Dalam sekejap segalanya pun menjadi gelap.

Kami tertidur tanpa mengetahui persis jam berapa saat itu. Kami terlelap berpelukan, dengan kondisi kasur berantakan, selimut yang terlempar entah kemana, dan sprei yang basah kuyup oleh campuran keringat dan cairan cinta kami. Bingkai foto orang tuaku yang tadi sudah kuamankan pun sudah terjerembab di lantai, entah sejak kapan kami menjatuhkannya.

***

“Diraaaa… bangun! Kesiangan kita nih…” Ochi menggoncang-goncangkan tubuhku dengan kencang.

“Iyaa… Chi… Bentar…” Aku menguap dan menggeliat.

“Cepetan… Ni anak… Udah terang…” Kali ini Ochi menepuk-nepuk pipiku gemas.

Aku yang selama ini tinggal sendirian sebenarnya sudah terkondisi bangun pagi dengan kesadaran sendiri. Bahkan tanpa alarm sekali pun aku sudah terlatih untuk bangun tiap jam 5 pagi tiap harinya demi menunaikan kewajibanku. Tapi kali ini agak berat rasanya membuka mata. Gara-garanya, apa lagi kalau bukan gara-gara ‘lembur’ semalam? Ah, aku jadi makin merasa berdosa…

Pelan-pelan kubuka mataku dan mendapati wajah Ochi cemberut kesal. Hihi… Aku jadi teringat Mamaku yang selalu membangunkanku dengan gigih tiap pagi jaman aku SMU dulu.

“Iyaa Mamaa… Dira bangun…” Godaku cengengesan.

“Gara-gara kamu nih, kesiangan kan kita… Ayo cepetan mandi…”

“Hehe… kok gara-gara aku sih Chi? Oaahhahemmm…” Aku menguap dan mengucek mataku, lalu bangun dan terduduk di kasur.

“Aku pinjam handuk ya, sama nanti pinjam mukena juga. Aku gak bawa… Kamar mandi selain yang di kamar tamu ada lagi nggak?”

“Ga ada Chi, cuma itu dan yang di kamar ini…” Ucapku setengah sadar.

“Ya udah ayok mandi bareng biar cepet…”

“Harus mandi ya Chi?”

“Iya lah…”

“He he, kan nggak ngeseks?”

“Tapi kan muncrat-muncrat juga… kena peju lagi… Udah ah gak usah debat… Ayok…” Ochi menyeretku bangun. Aku mengikuti saja meski masih lemes. Cara membangunkan Ochi benar-benar mirip Mama. Ah Mama… Dira kangen! Nanti kutelepon ah, pikirku.

Byurrrr….!

“Kyaaa… Ochiiii… Dingin!!” Protesku.

“Biar melek, ngelamun aja sih…”

Benar saja, aku memang langsung melek seketika, dan baru nyadar juga tau-tau mendapati diri sudah berada di kamar mandi berdua dengan Ochi.

Byurrr…!

“Aahh… Chiii aku bisa mandi sendiriii…”

“Kelamaan… Hihihi…”

Byurrr…!

***

Waktu menunjukkan jam 7 pagi. Aku berjalan melenggang keluar kamar cuek bertelanjang ria. Kudapati Fadel duduk terkantuk-kantuk di sofa ruang tengah di depan tv, sementara Ochi sibuk masak mie instan dan telur di dapur. Ochi tadi ‘seenaknya’ membagi tugas, aku disuruh membereskan kamarku, sementara dia bikin sarapan. Duh, Ochi lagi-lagi bikin aku teringat Mama. Tugasku membereskan kamar selesai lebih cepat dibanding tugas Ochi di dapur. Tapi aku dilarang membantunya. Meskipun diatur-atur oleh orang yang notabene ‘bukan siapa-siapa’ku, tapi aku menurutinya saja. Entah kenapa aku justru senang-senang saja dan bahkan merasa gak enak hati juga, karena mestinya aku yang mengerjakan semuanya kan? Tapi begitulah Ochi tidak bisa dibantah. Kayaknya memang karakternya begitu sih, dan aku lihat dia enjoy banget melakukannya. Mungkin terbiasa meladeni adeknya juga di rumah.

Yang jelas aku suka jadi lebih akrab aja sama Ochi, bahkan berasa punya kakak baru. Farah dan Nana yang udah bercanda ‘kakak-adekan’ aja belum seperti aku dan Ochi. Mereka bahkan ketemu aja belum. Tapi aku jadi membayangkan seandainya mereka beneran ketemu, lalu berdua digangbang bergiliran pasti seru banget ya? Hihihi… Sekali ketemu langsung nakal-nakalan bareng. Sama kayak aku dan Ochi semalam. Duh… Ingat-ingat kejadian semalam membuatku jadi merinding horni. Hihihi. Pikiranku ngelantur kemana-mana! Masih pagi juga. >,<

“Hai dek…!” Sapaku sambil duduk menjejeri Fadel.

“Eehh… Ka..kak…” Desah Fadel kaget. Meskipun awalnya Fadel agak melek mendapatiku telanjang bulat di sampingnya, tapi matanya langsung redup lagi.

“Hihihi… Bangun dek… Tadi udah melek juga lihat kakak…”

“Iyaa kak.. Hehe… Super ngantuk kak.” Aku mencium wangi tubuhnya, dan rambutnya kulihat juga sudah klimis. Agaknya dia sudah dibangunkan Ochi lebih awal dan sudah mandi. Tapi masih ngantuk aja setelahnya. Gemes juga. Dengan binal aku meraba selangkangannya.

“Kamu masih ngantuk tapi ‘inimu’ udah bangun lho dek? Hehe, gimana sih otak sama kontol gak sinkron?” Godaku. Tanpa tedeng aling-aling kukeluarkan kontol Fadel dari boxernya.

“Kaa… Kakak…” Desah Fadel lemas. Dengan gemas aku memeluk dan mencium pipinya, lalu aku beringsut ke bawah dan mengulum kontolnya. Entah apa yang kupikirkan, aku spontan saja melakukannya. Ahh… kacau… aku nakal banget sekarang! Kenapa sih aku jadi gini? Otakku hanya diisi dengan keinginan berzinah aja nih sejak semalam. >,<

Semoga ini bukan bentuk pelarianku dari Eko. Tapi sepertinya, apa yang sudah kualami selama ini, memang telah banyak merubah diriku. Di mulai dari kenekatanku pamer aurat di berbagai kesempatan, berkenalan dengan Dodi, berkenalan dengan teman-teman baru di group, hingga mengalami percobaan pemerkosaan, dan yang paling banyak membuat aku berubah tentunya adalah pertemuanku dengan Eko.

Kembali fokus dengan yang sedang ku lakukan, Fadel saat ini mendesah-desah sambil masih terpejam. “Aahh.. Kak.. Kak Ochiii… Aahhh…!”

Ish… Sialan, pikirku gemas. Aku yang menservis, eh malah Ochi yang disebut-sebutnya. Ngelindur ni anak. Dasar brother sister complex! Diam-diam tersirat rasa iri di hatiku membayangkan hubungan Ochi dan Fadel ini.

“Wooyy anak perawan!!!”

Bujug! Aku sampai terlompat dari tempat duduk saking kagetnya. “Ochiiiiii… Ngagetin aja! Hampir aja kugigit kontol Fadel! Kalo putus gimana?” Protesku dengan jantung berdegup kencang. Lagi nyepong kontol kok dikagetin!

“Kaak… Aduuh…” Gumam Fadel yang sudah melek sambil meringis kesakitan. Hahaha, agaknya kontolnya memang sempat tergigit olehku tadi. Maaf ya dek… Kakakmu itu sih! Ucapku geli dalam hati.

“Hahaha…” Ochi tergelak. “Awas kalo sampe kontol adekku putus, hihihi!”

“Kalo putus ya gara-gara kamu. Iya kan dek?” Balasku. Fadel diam saja menahan sakit. Rautnya tampak bingung. Masih setengah sadar dia. Hahaha. Gemesin.

“Kamu sih pagi-pagi udah cabul aja, bugil lagi di dalam rumah…” Ujar Ochi cekikikan.

“Yee biarin… rumah sendiri ini…” Cibirku.

Ochi sendiri belum melepas mukena sejak tadi. Dia menaruh nampan berisi 3 gelas air putih dan 3 piring mie goreng dan telur ceplok. “Kamu pakai nasi nggak?” Tanyanya.

“Yaelah Chi, orang Indonesia banget sih, makan mie pakai nasi… hihihi” Ledekku.

“Hihihi, ya kan aku memang orang Indonesia”

Enak banget tipe kayak Ochi ya, makan apa aja ga usah khawatir jadi gendut. Pikirku iri. “Chi lepas dong mukenanya, nanti kusut…” Ucapku gemas melihat Ochi yang tak juga melepasnya.

“Aku jadi ketularan kamu nih, males pake baju… Aku lepas tapi jangan dinakalin ya?” Goda Ochi sambil melepas mukenanya.

“Yang ada juga aku kali yang kamu nakalin…” Balasku. Tapi harus kuakui, darahku berdesir melihat Ochi telanjang lagi. Duh, kok jadi biseksual begini ya aku. Fadel sendiri sudah benar-benar melek sekarang. Gimana nggak, di hadapannya sudah ada dua cewek bugil dan sepiring mi goreng dengan telor ceplok.

“Enaak…!” Pujiku setelah mencicipi mie goreng buatan Ochi.

“Yaelah… Mie instan doang… Hihihi.”

“Tapi beda, kalo aku yang bikin kok ga bisa seenak ini…? Telurnya juga enak…”

“Hehe, cuman kukasih bumbu tambahan dikit kok… Ya udah kalo enak habisin ya…”

Pagi ini rasanya bahagia sekali sarapan telanjang bareng Ochi. Ternyata betul, bahagia itu sederhana. Hehe. ‘Terimakasih ya Ochi, Fadel.’ Gumamku dalam hati. Rasanya tak ingin mereka pulang. Tapi bagaimanapun juga mereka pamit setelah sarapan. Aku melepas kepergian mereka di pintu rumah. Ochi yang sudah di dalam mobil tertawa aja melihatku yang masih cuek bertelanjang.

“Ya ampun Dira… Udah cepetan masuk. Aku pulang!”

“Iyaa… Hehe, aman kok gak ada yang bakal liat,” sahutku percaya diri.

“Hihihi, dasar calon lonte!” celutuk Ochi. Aku tidak tersinggung sama sekali mendengarnya. Justru merasa geli.

“Biarin!” balasku memeletkan lidah. “Dadaah, Ochi… Fadel… Miss u already…” Merekapun hilang dari pandanganku.

Ahh… kalau diingat-ingat lagi, aku gak percaya sudah melakukan hal yang begitu mesum semalam bersama mereka. Sampai sekarang aja rasanya semalam seperti mimpi, pertemuan kami sudah mengantarkan kami pada aksi lesbian dan threesome! Sebuah kecabulan yang bahkan belum pernah kufantasikan. Dan nggak nyangka juga, ternyata aku begitu menikmatinya. Padahal kami banyak sekali menahan diri karna liang kami sama-sama masih suci. Andai tidak perlu menahan diri, kenikmatan seperti apa lagi yang kurasakan ya? Aku jadi bertekad dalam hati untuk melepaskan keperawanan sehingga bisa merasakan kenikmatan yang lebih.

Mama… Ijinkan Dira berzinah, please…

Eh iya, harus siap-siap pergi kuliah!

*********

Bersambung….

Episode 9 Extra Story

Pagi yang cerah. Aku sedang siap-siap untuk pergi ke kampus. Aku sudah mengenakan pakaian yang sangat rapi dan tertutup seperti biasanya jika ingin keluar rumah. Baju kemeja kota-kotak dan celana levis hitam. Tidak terlalu ketat sih sebenarnya, tapi kalau mama lihat aku berpakaian begini pasti dia marah. Padahal masih nutup aurat gini, walaupun agak nunjukin lekuk tubuh sih. Mama dari dulu emang gak pernah bolehin aku pakai celana jeans atau levis. Aku bandel memakainya waktu aku udah tinggal sendirian, hihi.

Baru saja aku akan keluar rumah, tiba-tiba ada tamu datang. Rupanya tamu itu adalah kurir pengantar paket. Dan itu adalah abang-abang yang biasanya datang! Duh, aku baru ingat kalau hari ini kiriman paketku datang. Tapi kok tumben sih pagi-pagi dah datang!? Sayang banget abang kurir itu datangnya sewaktu aku lagi berpakaian lengkap begini. Karena jika tidak aku mungkin akan dengan senang hati tampil telanjang bulat di hadadapannya lagi. Terakhir kali dia melihat aku bugil ketika aku dengan Eko waktu itu.

Ku lihat raut wajah abang itu, sepertinya dia juga kecewa karena tidak bisa melihat aku telanjang seperti sebelumnya, haha.

“Maaf yah mas… Dira gak bisa telanjang di depan abang sekarang… soalnya Dira mau pergi kuliah… ” ucap aku to the point. Sudah sama-sama tahu, jadi aku pikir gak perlu malu-malu lagi.

“Eh, i-iya mbak… gak apa kok”

“Lain kali ya… Dira bakal telanjang lagi kok di depan mas… Dira janji” ujarku memberi janji sambil senyum-senyum. Si abang kurir sepertinya senang banget aku senyumin, apalagi dijanjikan boleh melihat aku telanjang lagi. Mupeng pasti ^o^

“Hehe, janji ya mbak? Gak bohong kan?” tanya si kurir sumringah.

“Iyaah… Dira janji… Kalau suatu saat mas ke sini lagi Dira masih pakai pakaian, mas boleh deh telanjangi Dira,” aku ketagihan menggodanya. Si kurir itupun tampaknya makin gemas padaku. Bahaya ah kalau digodain terus, haha. Tapi dia pasti tidak menyangka ada gadis kuliahan cantik, elegan, berjilbab, dan anak orang kaya seperti aku mau berjanji seperti itu padanya. Pasti itu janji termanis yang pernah didapat oleh si abang kurir sepanjang hidupnya.

“Hehehe, ya deh mbak…”

“Ya udah mas… mana paketnya? Dira buru-buru mau ke kampus nih…”

“Iya mbak Dira cantik, ini…” Si kurirpun menyerahkan paket. Langsung kubuka di tempat. Isinya lingerie hitam tipis transparan yang amat seksi, trus dikasih bonus borgol mainan dan topeng bulu. Huhu, kok bisa ya aku beli pakaian beginian!? Entah kapan aku punya kesempatan memakainya. Aku main beli aja waktu itu, soalnya imut sih…. hihi ^o^

“Mas…. Udah pergi sanaaa! Dira mau ke kampus” Uhhh… Malu banget ketahuan beli beginian!! >,<

*****

Daftar Part